Pages

لْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)

Wednesday, May 23, 2012

Apakah Boleh Menjadikan Hari Sabtu sebagai Hari Libur Mingguan?

Mohon pendapat Dâr al-Iftâ` al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir) berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Mesir yang mengganti hari libur dari hari Kamis dan Jumat menjadi hari Jum'at dan Sabtu. Apakah pemilihan hari Sabtu ini tidak dianggap menyerupai tindakan kaum kafir?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad


    Sebagaimana ditetapkan dalam kaidah fikih bahwa Tasharruful-Imâm Manûthun bil-Mashlahah (Tindakan penguasa terhadap rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan). Selain itu, penguasa juga berhak untuk membatasi hal yang dibolehkan (mubah). Pemilihan hari libur tertentu adalah termasuk hal-hal mubah yang hukumnya tidak dijelaskan oleh syariat secara khusus. Tidak ada hubungan secara syar'i antara hari libur tersebut dengan hari raya, karena tidak ada penjelasan sama sekali dari para salaf saleh kita bahwa hari raya mingguan –yaitu hari Jum'at— atau hari raya tahunan –hari raya Idul Fitri dan Idul Adha— merupakan hari libur. Semua itu hanya kesepakatan atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Arab atau masyarakat Islam pada waktu atau tempat tertentu karena terdapat kemaslahatan tertentu yang sesuai dengan waktu atau tempat itu.

    Hari raya-hari raya dalam Islam mengajak kita untuk tetap bekerja, bukan mengajak untuk bermalas-malasan dan menganggur. Dalam hari raya, baik tahunan maupun mingguan, tidak ada aktivitas yang berbeda dengan hari-hari yang lain, melainkan hanya dianjurkan untuk melakukan salat ied atau Jum'at dan bersuci untuk keduanya. Seorang muslim, karena dorongan tuntunan agama atau keimanan, akan tetap bekerja selama hari raya sebagaimana pada hari-hari lainnya, bukan menghentikannnya. Semua itu berlangsung berdasarkan pertimbangan kemaslahatan pribadi atau umum. Adapun pengaturan kepentingan umum adalah di tangan pemerintah berdasarkan jabatan yang diberikan kepadanya oleh Allah.

    Nash-nash syariat banyak menjelaskan tentang hal di atas, seperti larangan Allah untuk melakukan jual beli atau akad-akad lainnya setelah azan kedua dalam salat Jum'at. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli." (Al-Jum'ah: 9).

    Ayat ini menunjukkan kebolehan melakukan jual beli dan akad lainnya sebelum salat Jum'at, sehingga hukum pengharaman ini hanya dikhususkan pada pelaksanaannya ketika salat Jum'at dan hanya diwajibkan kepada orang yang wajib melaksanakan salat Jum'at. Setelah itu, Allah melanjutkan firman-Nya,

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah". (Al-Jum'ah: 10).

    Maksudnya: kembalilah kepada kehidupan kalian sehari-hari dan lanjutkan pekerjaan yang kalian pandang baik bagi agama dan dunia kalian. Lakukan apa yang bermanfaat bagi kalian sesuai dengan tujuan penciptaan kalian yaitu untuk beribadah dan memakmurkan dunia. Dengan demikian, nash Alquran ini tidak menyuruh kita –baik sebagai kewajiban ataupun sekedar anjuran— untuk libur pada hari Jum'at atau untuk tetap tinggal di masjid.

    Syaikhul Islam al-Baijuri, dalam Hâsyiyah 'alâ Ibni Qâsim pada bab al-Ijârah, mengatakan, "Ketahuilah, jika seseorang disewa untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dalam waktu tertentu, maka waktu untuk bersuci dan melaksanakan salat di dalamnya –meskipun salat sunah rawatib— adalah waktu yang dikecualikan berdasarkan syariat. Upah tidak boleh dikurangi karena melakukan hal itu. Begitu juga, hari Sabtu bagi orang Yahudi dan hari Minggu bagi orang Nasrani."

    Perkataan Baijuri yang masanya tidak jauh dari kita ini –beliau meninggal tahun 1277 H— menunjukkan keadaan kaum muslimin pada waktu itu yang tetap bekerja meskipun pada hari Jum'at, sedangkan libur pada hari Sabtu dan Minggu adalah khusus bagi non muslim. Hal ini menunjukkan bahwa libur pada hari Jum'at bukanlah hal yang mengakar lama pada masyarakat Islam, tetapi hanya sesuatu yang dibuat belakangan. Diperkirakan bahwa alasan pemilihan hari Jum'at sebagai hari libur kembali pada tujuan yang disesuaikan dengan masyarakat ketika itu.

    Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa jika muncul keperluan untuk menjadikan salah satu hari dalam satu minggu sebagai hari libur, maka keputusan penentuan itu diserahkan kepada kesepakatan orang-orang.

    Adapun syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang bahwa penetapan hari Sabtu sebagai hari libur merupakan tindakan yang menyerupai orang non muslim adalah tidak bisa diterima. Hal itu karena penyerupaan yang dilarang adalah yang berkaitan dengan syiar-syiar agama dan memang bertujuan untuk menyerupai perbuatan mereka itu. Sedangkan perbuatan yang sama sekali bukan syiar keagamaan –yang membedakan pelakunya dari pemeluk agama lain—, atau perbuatan tersebut tidak dimaksudkan untuk menyerupai non muslim, maka tidak apa-apa untuk dilakukan. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab r.a. ketika meniru bangsa Romawi dalam membuat kantor-kantor jawatan.

    Jika ada seseorang yang menyatakan bahwa hal itu adalah perbuatan bid'ah yang tercela, maka lihatlah para sahabat yang salat dengan celana yang biasa dipakai orang-orang Persia ketika berhasil menaklukkan wilayah mereka. Kaum muslimin saat ini memakai pakaian yang mulanya merupakan pakaian non muslim, tapi saat ini pakaian tersebut bukan lagi milik mereka atau ciri mereka, bahkan asal muasal pakaian itu telah dilupakan sehingga tidak lagi menjadi ciri khusus masyarakat yang memakainya pertama kali.

    Dalam al-Fath al-Bârî, ketika berbicara mengenai pakaian Thailasan, yaitu sebuah pakaian yang mulanya dipakai oleh orang-orang Yahudi, dan ketika menjelaskan hadis: "Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia adalah golongan mereka," Ibnu Hajar berkata, "Dibolehkannya menjadikan kisah orang-orang Yahudi tersebut sebagai alasan pengharaman pakaian Thailasan ini adalah jika ia masih merupakan ciri khusus mereka. Namun saat ini pakaian tersebut sudah tidak lagi menjadi ciri mereka, sehingga penggunaan pakaian itu telah masuk dalam penggunaan barang yang dibolehkan secara umum. Ibnu Abdis Salam telah menyebutkan hal ini dalam contoh-contoh bid'ah yang dibolehkan."

    Saat ini tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim bahwa hari Sabtu adalah syiar milik kaum Yahudi. Saat ini seluruh dunia, dengan segala perbedaan agama dan pola pikirnya, menggunakan hari Sabtu itu sebagai hari libur dengan alasan tertentu, sehingga tidak lagi menjadi syiar khusus kaum Yahudi. Ditambah lagi, kaum muslimin memandang adanya kemaslahatan dalam menjadikan hari Sabtu sebagai hari libur karena lebih sesuai daripada hari-hari yang lain, maka keputusan itu adalah benar karena telah berpijak pada kemaslahatan, tanpa perlu melihat penyerupaan dengan tindakan orang-orang Yahudi atau penghormatan terhadap ciri khas mereka.

    Dapat disimpulkan bahwa penetapan hari Jum'at dan Sabtu sebagai hari libur dikembalikan kepada kemaslahatan, sehingga hendaknya difokuskan pada usaha untuk memastikan ada atau tidaknya kemaslahatan di dalamnya. Lalu praktik di lapangan dan pelaksanakan kebijakan itu akan menjadi pemutus apakah kebijakan tersebut tepat atau tidak tepat. Pijakan penentuan hukum dalam masalah ini dengan penyerupaan pada kaum tertentu atau merupakan bid'ah dan lain sebagainya, merupakan tindakan yang sangat tidak tepat.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
sumber http://www.dar-alifta.org/

No comments:

Post a Comment