Pages

لْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)

Tuesday, May 22, 2012

Penggunaan Senjata Pemusnah Massal Untuk Menyerang Negara Non-Muslim

Akhir-akhir ini muncul beberapa tulisan dan usulan dari sebagian kelompok dan golongan untuk menggunakan senjata pemusnah massal guna menyerang negara-negara non muslim. Menurut mereka, tindakan ini dibenarkan oleh syariat Islam berdasarkan beberapa teks-teks fikih dan mengqiyaskannya pada kebolehan membunuh orang-orang muslim yang ditawan musuh yang dijadikan tameng, penyerangan secara mendadak pada malam hari dan pembakaran kebun-kebun musuh yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Apakah pendapat mereka ini benar dan sesuai dengan syariat?
Jawaban : Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad


    Dalam istilah militer, yang dimaksud dengan senjata pemusnah massal adalah jenis senjata non konvensional yang memiliki daya hancur yang sangat dahsyat. Senjata ini dapat menyebabkan kehancuran fatal pada wilayah yang menjadi sasaran meliputi seluruh makhluk yang ada di dalamnya, seperti manusia dan hewan bahkan juga lingkungan di sekitarnya.

    Senjata pemusnah massal terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu senjata nuklir, senjata kimia dan senjata biologi. Senjata nuklir dapat berupa bom atom, bom hidrogen dan bom neutron. Jenis senjata ini didesain untuk dapat menyebarkan bahan radioaktif yang dapat membunuh manusia, menghancurkan berbagai fasilitas yang ada dan menimbulkan pencemaran di seluruh kota dalam waktu yang lama. Ada juga jenis dari senjata ini yang didesain hanya untuk membunuh manusia tanpa merusak fasilitas yang ada di sekitarnya.

    Senjata kimia, seperti berbagai macam gas beracun dan bahan-bahan pembakar lainnya, memiliki efek yang sangat membahayakan –bahkan dapat menyebabkan kematian— bagi setiap makhluk hidup yang terkena bahan tersebut, termasuk tumbuh-tumbuhan. Pada umumnya, bahan beracun yang digunakan sebagai senjata kimia ini adalah berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap dan jarang sekali yang berbentuk padat.

    Adapun senjata biologi adalah senjata yang dibuat dari bakteri dan virus yang dapat menyebarkan wabah penyakit berbahaya di barisan musuh dan mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap peternakan dan pertaniannya.

    Bagi negara-negara Islam, memiliki senjata jenis ini dengan tujuan mencegah serangan musuh merupakan perkara yang diperintahkan oleh agama. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT,

    "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya." (Al-Anfâl [8]: 60).

    Al-Alusi berkata dalam kitab tafsirnya, "Maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat memperkuat diri dalam peperangan, apapun bentuknya."

    Dalam ayat di atas Allah SWT telah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan berbagai hal yang dapat mencegah musuh agar tidak berkeinginan untuk menyerang kaum muslimin. Pencegahan atau tindakan preventif, selain merupakan prinsip syariat yang terealisasikan dalam hukuman had dan ta'zir, juga merupakan prinsip politik yang diakui dan digunakan oleh negara-negara di dunia ini dalam kebijakan pertahanannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu strategi militer. Dengan demikian, memiliki senjata jenis ini merupakan salah satu unsur penyempurna dalam merealisasikan tujuan di atas. Dan merealisasikan penyempurna bagi sesuatu yang diperintahkan adalah juga diperintahkan. Di samping itu, izin untuk melakukan sesuatu, secara tidak langsung adalah izin untuk melakukan penyempurna bagi sesuatu tersebut. Merupakan hal yang sudah jelas bahwa kepemilikan terhadap senjata seperti itu dapat menciptakan keseimbangan strategi militer antar negara. Karena hal itu menjadi sebuah pertimbangan besar bagi suatu negara yang berkeinginan melakukan agresi terhadap negara muslim. Pada akhirnya, kepemilikan senjata ini dapat menjadi penghalang terjadinya perang yang tidak diinginkan sejak awal.

    Penjelasan di atas merupakan sebuah cara pandang dari sisi penggunaan senjata pemusnah massal untuk tujuan menghalangi dan mencegah agresi pihak-pihak asing. Tentu ini sangat berbeda bila penggunaannya untuk memulai permusuhan dan peperangan sebagaimana yang digambarkan dalam pertanyaan di atas. Pendapat yang membolehkannya pun hanya didasarkan pada pendapat pribadi atau pandangan beberapa kelompok saja. Mengikuti pendapat seperti ini tidak dibenarkan dalam syariat. Mengatakan bahwa tindakan tersebut dibolehkan dan menisbatkannya kepada syariat Islam serta para ulamanya merupakan kedustaan dan fitnah terhadap ajaran agama. Pendapat kami ini setidaknya didasarkan pada beberapa hal:

1. Pada dasarnya, sebuah perang hanya boleh dilakukan jika berada di bawah panji penguasa muslim. Semua urusan yang berkaitan dengan perang diserahkan kepadanya dan rakyat berkewajiban untuk mentaatinya dalam semua keputusannya itu. Keputusan untuk perang diserahkan kepada seorang penguasa, karena dirinya dianggap paling memahami masalah ini baik secara lahir maupun batin dan mengetahui akibat yang akan ditimbulkannya di masa datang serta maslahat rakyatnya. Oleh karena itulah, kewenangan untuk mengumumkan perang dan melakukan perjanjian internasional secara otomatis diserahkan kepadanya sejak dia diangkat menjadi pemimpin negara. Dalam memegang jabatannya itu dia tidak dapat mengeluarkan keputusan dengan sesuka hatinya. Ia harus bermusyawarah dengan para ahli sebelum mengeluarkan keputusan dalam masalah apapun, seperti para pakar teknis, para tentara, penasehat politik dan lain sebagainya. Mereka ini pada akhirnya terhitung juga sebagai pihak-pihak yang ikut dalam membuat keputusan yang tidak mungkin diputuskan sendiri oleh pemimpin tersebut.

Persetujuan dan keputusan dari satu atau beberapa orang muslim untuk menggunakan senjata pemusnah massal tidak hanya merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap pemerintah, tetapi juga sewenang-wenang terhadap seluruh umat Islam lainnya. Hal ini karena mereka telah mengambil keputusan secara sepihak tanpa meminta pertimbangan kepada para ulama dan pakar. Padahal masalah ini berkaitan dengan umat secara menyeluruh sehingga dapat menjerumuskan negara dan seluruh penduduknya ke dalam kondisi yang sangat berbahaya.

    Al-Buhuti dalam Syarh Muntahal-Irâdât berkata, "Diharamkan menyerang negara lain tanpa izin pemimpin, karena keputusan berperang ada di tangannya yang mengetahui banyak sedikitnya jumlah musuh, persembunyiannya dan strategi mereka. Kecuali jika mereka diserang secara mendadak oleh musuh (kaum kafir) yang dikhawatirkan kejahatan dan kezaliman mereka dapat membahayakan umat, maka dibolehkan memerangi mereka meskipun tanpa izin dari pemimpin dikarenakan tuntutan maslahat". (Vol. I, hlm. 636. Cet. Alamul Kutub).

2. Tindakan itu berarti pelanggaran terhadap kesepakan dan perjanjian internasional yang telah disetujui oleh negara-negara Islam secara sukarela sebagai bentuk partisipasi bersama masyarakat internasional untuk menciptakan keamaan dan perdamaian di dunia. Allah berfirman

    "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu". (Al-Mâidah [5]: 1).

     Al-'Uqûd adalah bentuk jamak dari al-'aqd (akad). Akad digunakan untuk menyebut setiap kesepakatan yang terjadi antara dua orang dalam tindakan tertentu. Syaikh Ibnu 'Asyur, seorang ulama asal Tunis, ketika mengomentari ayat ini berkata, "Alif lam makrifah dalam lafal al-'uqûd adalah berbentuk al-jins untuk al-istighrâq, sehingga mencakup juga semua akad yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan Tuhan mereka, yaitu melaksanakan syariat-Nya.... Begitu juga mencakup akad-akad yang dilakukan oleh kaum muslimin diantara mereka." (at-Tahrîr wat Tanwîr, Vol. VI, hlm. 74, Cet. Ad-Dar at-Tunisiyah lin Nasyr).

    Tirmidzi meriyawatkan dari Amr bin 'Auf al-Muzani r.a. bahwa Nabi saw. berkata,

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

    "Kaum muslimin harus menepati syarat yang mereka sepakati, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal."

    Imam Jashash berkata, "Makna hadits ini bersifat umum dalam kewajiban memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan seseorang atas dirinya selama tidak ada dalil lain yang mengkhususkannya." (Ahkâmul Quran, Vol. II, hlm. 418, Cet. Darul Fikr).

    Bukhari meriwayatkan dari Ali radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi saw. bersabda,

ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِماً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلاَ عَدْلٌ

    "Jaminan kaum muslimin adalah satu. Yang paling rendah dari mereka dapat memberikan jaminan itu. Barang siapa yang melanggar janji seorang muslim maka ia akan mendapatkan laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia. Tidak akan diterima darinya amalan wajib maupun sunnah."

    Maksud "yang paling rendah" adalah meskipun hanya satu orang dari kaum muslimin. Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang muslim memberikan jaminan keamanan kepada orang lain maka kaum muslimin yang lain tidak boleh melanggarnya. Larangan melanggar jaminan ini tentu lebih besar bila ia diberikan oleh seorang penguasa. Jika ada yang melanggarnya maka Allah tidak akan menerima amal perbuatannya baik yang wajib maupun yang sunnah, maksudnya tidak menerima amalnya sama sekali.

    Bukhari juga meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhumâ bahwa Nabi saw. bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اْؤتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

    "Ada empat hal yang jika terkumpul pada diri seseorang maka ia menjadi seorang munafik sejati. Jika salah satu saja dari keempat hal itu terdapat pada diri seseorang maka ia memiliki sebagian sifat munafik sampai ia meninggalkannya. (Yaitu) jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia tidak menepati dan jika berselisih ia berikap jahat (curang)."

    Al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Amr bin al-Hamq al-Khuza'i bahwa Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا أَمَّنَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ عَلَى نَفْسِهِ ثُمَّ قَتَلَهُ فَأَنَا بَرِيْءٌ مِنَ الْقَاتِلِ وَإِنْ كَانَ الْمَقْتُوْلُ كَافِراً

    "Jika seorang lelaki memberi janji keamanan bagi seorang lelaki lain lalu dia membunuhnya, maka aku berlepas tangan dari pembunuh itu meskipun orang yang terbunuh adalah kafir."

    Oleh karena itu, setiap pihak yang ikut dalam perjanjian internasional berarti ia berada dalam suasana damai dan genjatan senjata. Allah berfirman,

    "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (Al-Anfâl [8]: 61).

3. Perbuatan tersebut merupakan tindakan penyerangan secara tiba-tiba terhadap orang-orang yang tidak siap siaga. Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,

لاَ يَفْتُكُ الْمُؤْمِنُ، اْلإِيْمَانُ قَيْدُ الْفَتْكِ

    "Seorang mukmin tidak boleh menyerang orang yang lengah. Iman adalah pencegah tindakan penyerangan pihak yang lengah."

    Ibnul Atsir berkata, "Al-Fatk adalah serangan yang dilakukan seseorang terhadap orang yang lengah, lalu dia mendesaknya hingga membunuhnya." (an-Nihâyah fi gharîbil hadîts, Vol. III, hlm 775, al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut).

    Dengan demikian, maksud dari hadits di atas adalah keimanan seseorang mencegah seseorang untuk melakukan penyerangan terhadap pihak yang lengah (al-fatk), sebagaimana sebuah ikatan mencegah seseorang untuk berbuat sesuatu. Lafal hadits, "Seorang mukmin tidak boleh menyerang pihak yang lengah", adalah kalimat berita namun bermakna larangan, karena perbuatan tersebut mengandung muslihat dan tipuan. Lafal itu itu bisa juga merupakan bentuk larangan.

    Ada pelajaran menarik dalam kisah Khubaib al-Anshari yang ditawan oleh kaum musyrik lalu ia dijual di Mekah dan dibeli oleh keluarga al-Harits bin 'Amir bin Naufal bin Abdu Manaf. Khubaib adalah orang yang telah membunuh al-Harits bin 'Amir ketika perang Badr, maka Khubaib pun ditawan oleh keluarga al-Harits bin 'Amir tersebut. Pada suatu hari, Khubaib meminjam sebuah pisau kecil untuk membersihkan bulunya pada salah seorang anak perempuan al-Harits. Setelah Khubaib menerima pisau itu, ia memanggil anak lelaki perempuan itu tanpa sepengetahuan ibunya. Ketika perempuan itu melihat Khubaib yang sedang memangku anaknya di pahanya dan di tangannya terdapat pisau, perempuan itu terperanjat dan ketakutan. Maka Khubaib pun berkata, "Kamu takut kalau aku membunuh anak ini? Aku tidak akan melakukan itu." Anak perempuan al-Harits itupun lalu berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang tawanan sebaik Khubaib."

    Khubaib ketika itu sedang ditawan oleh para musuhnya yang berniat membunuhnya. Meskipun demikian, di saat ia memiliki kesempatan untuk melukai hati para musuhnya dengan membunuh anak mereka, ia tidak melakukan hal itu. Hati seorang muslim tidak berisi muslihat dan niat jelek, seperti menyerang secara mendadak terhadap orang-orang yang lengah.

4. Penggunaan senjata pemusnah massal dapat mengakibatkan pembunuhan terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhumâ bahwa dalam salah satu peperangan Rasulullah saw., ditemukan mayat seorang perempuan. Maka beliau langsung mengingkari terjadinya pembunuhan terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Dalam riwayat lain disebutkan, "Lalu Rasulullah saw. melarang untuk membunuh kaum perempuan dan anak-anak."

    Imam Nawawi berkata, "Para ulama sepakat dalam mengamalkan hadits ini. Mereka melarang membunuh kaum perempuan dan anak-anak jika mereka tidak ikut berperang. Namun jika mereka ikut berperang maka jumhur ulama berpendapat bahwa mereka juga harus dibunuh." (Syarah Shahih Muslim, Vol. XII, hlm. 48, Dar Ihya` at-Turats al-Arabi).

5. Penggunaan senjata ini dapat membunuh kaum muslimin yang ada di negara tersebut, baik penduduk asli maupun pendatang. Syariah Islam sangat menghormati darah seorang muslim dan mengancam orang yang menumpahkannya atau menyakitinya tanpa alasan yang benar. Allah berfirman,

    "Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya". (An-Nisâ` [4]: 93).

    Allah juga berfirman,

    "Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bni Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang tu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya". (Al-Mâidah [5]: 32).

    Nasa`i meriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhumâ bahwa Nabi saw. bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

    "Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim."

    Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibu Umar r.a., ia berkata, "Saya melihat Rasulullah saw. melakukan thawaf mengelilingi Ka'bah sambil bersabda kepada Ka`bah, "Sungguh bagus dirimu dan sungguh wangi baumu. Sungguh agung dirimu dan sungguh agung kesucianmu. Demi jiwa Muhammad yang berada dalam genggaman-Nya, kehormatan seorang mukmin lebih agung di hadapan Allah daripada kesucianmu. Demi jiwa Muhammad yang berada di genggaman-Nya, kehormatan seorang mukmin, juga harta darahnya, adalah lebih agung di hadapan Allah dari kesucianmu. Dan kami selalu berperasangka baik padanya."

    Pembunuhan terhadap seorang muslim secara sengaja adalah perbuatan dosa besar. Tidak ada dosa yang lebih besar darinya selain kekafiran. Para ulama dari kalangan sahabat dan setelahnya juga berbeda pendapat mengenai hukum diterimanya taubat pembunuh.

6. Tindakan tersebut dapat menyebabkan bencana dan musibah atas seluruh kaum muslimin, bahkan kepada seluruh penduduk dunia, karena negara yang diserang bisa jadi akan membalas serangan itu dengan tindakan serupa atau lebih keras lagi. Selain itu, efek destruktif yang ditimbulkan oleh senjata pemusnah ini dapat merembet ke negara-negara lain, bukan hanya tempat yang tertimpa senjata tersebut. Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan ini, baik yang langsung ataupun tidak langsung, lebih besar daripada kemaslahatan yang diharapkan, jika memang terdapat kemaslahatan di dalamnya. Dan dinyatakan dalam salah satu kaidah fikih bahwa mencegah kerusakan adalah wajib dan harus didahulukan dari mencapai kemaslahatan.

7. Penggunaan senjata ini dapat mengakibatkan kerusakan fatal terhadap harta kekayaan, fasilitas umum dan fasilitas pribadi. Pengrusakan terhadap harta merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Tingkat keharaman ini lebih besar jika harta yang dirusak tersebut bukan milik orang yang merusaknya seperti yang digambarkan dalam masalah ini. Oleh karena itu, keharaman tersebut selain berkaitan dengan pelanggaran terhadap larangan syariat, juga berkaitan dengan hak-hak orang lain.

8. Penggunaan senjata ini dalam beberapa kasus mengharuskan keberadaan pelakunya di dalam negara yang menjadi sasaran. Tentu saja, untuk masuk ke dalam wilayah negara lain, seseorang harus memiliki izin dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk masuk. Dan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin tersebut adalah orang tersebut tidak boleh melakukan hal-hal yang merugikan dan menimbulkan kerusakan di negara yang akan dikunjungi. Hal itu meskipun tidak diterangkan secara nyata namun dapat dipahami secara implisit. Para ulama pun telah menjelaskan hal ini. Imam al-Khiraqi dalam al-Mukhtashar berkata, "Barang siapa yang memasuki wilayah musuh dengan jaminan keamanan, maka ia tidak boleh berkhianat dengan merugikan harta mereka." Dalam menjelaskan kata-kata al-Khiraqi ini, Ibnu Qudamah berkata, "Berkhianat terhadap mereka adalah haram, karena mereka memberikan orang tersebut jaminan keamanan dengan syarat dia tidak melakuan pengkhianatan dan mereka aman dari tindakan jahatnya. Meskipun hal ini tidak disebutkan dalam kata-kata tapi dapat dipahami secara implisit. Oleh karena itulah, jika ada seorang musuh yang kita beri jaminan keamanan, lalu ia mengkhianati kita, maka dia dianggap telah melanggar jaminan keamanan tersebut. Dengan demikian maka orang tersebut tidak boleh mengkhianati mereka, karena dalam agama kita pengkhianatan tidak dibenarkan." (al-Mughni, Vol. IX, hlm. 237, Cet. Dari Ihya at-Turâts al-'Arabi).

    Teks-teks fikih yang dijadikan alasan untuk mensahkan pendapat ini merupakan teks-teks yang dikeluarkan dari konteks yang sebenarnya. Teks-teks itu digunakan secara asal-asalan dan tanpa aturan karena telah menghilangkan batas-batas penting dari beberapa kondisi yang berbeda, seperti kondisi perang dan damai. Keadaan perang memiliki hukum-hukum tertentu yang berbeda dengan hukum-hukum dalam keadaan damai. Dalam keadaan damai harta, jiwa dan kehormatan manusia dijaga. Perbedaan ini menyebabkan tidak mungkinnya menyamakan masalah penggunaan senjata pemusnah massal dengan beberapa contoh masalah yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih, seperti kebolehan penyerangan di malam hari, kebolehan membunuh manusia yang dijadikan tameng perang dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kebolehan penggunaan senjata pemusnah massal dengan mengkiyaskan pada masalah-masalah itu adalah salah dan tidak tepat sama sekali, meskipun masalah-masalah yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih tersebut adalah masalah-masalah yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah tepat sasaran, baik secara hukum atau keadaan yang dimaksud oleh para ulama. Kesalahan terbesarnya adalah pada pemindahan masalah-masalah ini dari tempat dan keadaan yang sebenarnya kepada tempat dan keadaan yang lain.

    Begitu juga tidak benar mengkiyaskan kebolehan penggunaan senjata pemusnah ini dengan kebolehan melawan dan membunuh penyerang, karena terdapat banyak perbedaan antara hukum-hukum pencegahan kejahatan para penyerang dan hukum-hukum dalam masalah jihad. Diantara perbedaan tersebut adalah bahwa dalam mencegah kejahatan penyerang maka harus terlebih dahulu menggunakan cara yang paling ringan lalu meningkat sesuai dengan kebutuhan. Sehingga, jika pencegahan orang yang ingin menyerang itu dapat dilakukan dengan ucapan maka tidak boleh memukulnya, jika dapat dicegah dengan tangan maka tidak boleh dicegah dengan menggunakan pedang, dan seterusnya. Hal ini tidak sejalan dengan kebolehan penggunaan senjata pemusnah massal dalam kondisi yang dijelaskan dalam pertanyaan.

    Adapun dalil yang diambil dari hadits-hadits tentang kebolehan penyerangan di malam hari, kebolehan penggunaan manjanik (senjata pelempar batu), atau kebolehan membakar, lalu mengkiyaskan penggunaan senjata pemusnah massal dengan masalah-masalah ini adalah kiyas yang salah. Hal itu karena terdapat perbedaan besar antara keduanya. Di antara perbedaan tersebut adalah hadits-hadits yang menjelaskan masalah-masalah di atas adalah dalam konteks peperangan. Tentu kondisi perang berbeda dengan kondisi damai. Selain itu efek yang ditimbulkan dari penggunaan manjanik sangat berbeda dengan efek yang ditimbulkan oleh senjata pemusnah massal. Ditambah lagi, semua peristiwa yang disebutkan dalam hadits-hadits itu terjadi di bawah komando penguasa. Ini adalah perbedaan besar dan mendasar yang membedakan antara peristiwa ini dengan penggunaan senjata pemusnah massal yang mengharuskan keluar dari ketaatan terhadap penguasa. Tindakan sebagian orang yang merasa mempunyai kewenangan untuk mengumumkan perang terhadap pihak lain merupakan tindakan zalim terhadap seluruh umat dan para pemimpin dengan klaim jihad. Di samping itu, berbagai peristiwa dalam hadits-hadits di atas merupakan peristiwa personal (waqâi' al-a'yân) yang hukumnya tidak berlaku umum. Oleh karena itulah, sebagian ulama berpendapat bahwa secara hukum asal tidak dibolehkan melakukan serangan pada malam hari, pembakaran dan pengrusakan, berdasarkan sabda Nabi saw. dalam masalah ini yang memiliki keumuman hukum.

    Menurut kami, pendapat yang benar adalah dilarangnya penggunaan senjata pemusnah massal yang dapat mengakibatkan kebakaran menyeluruh. Hal ini berdasarkan larangan Rasulullah saw. untuk membakar orang. Awalnya memang beliau memerintahkan untuk membakar musuh yang diinginkan, namun kemudian beliau melarangnya sebelum hal itu terlaksana, padahal ketika itu dalam suasana perang. Dan ketika itu Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah r.a.,

إِنَّ النَّارَ لاَ يُعَذِّبُ بِهَا إِلاَ اللهُ

    "Sesungguhnya api tidak boleh digunakan untuk mengazab kecuali oleh Allah."

    Dengan demikian Rasulullah saw. telah melarang menyiksa manusia dengan api. Dan merupakan hal yang umum diketahui bahwa kebanyakan senjata pembunuh massal dapat mengakibatkan kebakaran yang besar. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah melarang penggunaan senjata pemusnah massal ini secara mutlak meskipun dalam peperangan berdasarkan larangan umum dalam membakar manusia.

    Sedangkan mengkiyaskan kebolehan penggunaan senjata pemusnah massal dengan kebolehan menyerang pada pada malam hari adalah pengkiyasan yang salah kaprah. Hal itu karena kebolehan penyerangan di malam hari memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah dilakukan selama masa perang, musuh yang diserang pada malam hari adalah musuh yang boleh diperangi bukan musuh yang memiliki perjanjian damai atau perjanjian lain yang serupa dengannya. Karena, setiap pihak yang berada dalam perjanjian itu telah memberikan jaminan keamanan kepada pihak lainnya, baik dalam harta, jiwa maupun kehormatan. Jika tidak boleh menyerang pada malam hari kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian tersebut, maka penggunaan senjata pemusnah massal terhadap mereka tentu lebih diharamkan. Adapun permasalahan tentang kebolehan membunuh orang-orang muslim yang dijadikan tameng oleh musuh, maka hal itu tidak boleh digunakan kecuali dalam suasana perang dan berdasarkan syarat dan bentuk yang dijelaskan oleh para ulama. Penjelasan ini dapat dilihat misalnya dalam kitab al-Bahrur Ra`iq, Hasyiyah Ibni Abidin, Raudhatuth Thâlibîn, Mughnil Muhtâj dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah.

    Dengan demikian, ajakan penggunaan senjata pemusnah massal ini adalah ajakan yang tidak benar. Menyebarkan pemikiran seperti ini dan mengajak orang untuk mengikutinya adalah termasuk tindakan membuat kekacauan, kejahatan dan kerusakan di bumi yang dilarang dan diancam dengan azab yang pedih oleh Allah. Allah berfirman,

    "Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar". (Al-Ahzâb [33]: 60).

    Dan firman-Nya,

     "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (Al-A'râf [7]: 85).

    "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka". (Muhammad [47]: 22 – 23).

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
sumber ; http://www.azhar.edu.eg/

No comments:

Post a Comment