Pages

لْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)

Tuesday, May 22, 2012

Perempuan Menjadi Penghulu Pernikahan

  Terjadi perbedaan pendapat seputar pengangkatan perempuan menjadi penghulu pernikahan oleh pihak yang berwenang. Penghulu di sini bertugas mencatat pernikahan dan perceraian. Apa pandangan syarak tentang hal ini?

Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali
     Para ulama fikih berpendapat bahwa seorang penguasa berhak menikahkan seseorang menggantikan walinya jika orang tersebut tidak memiliki wali atau walinya tidak hadir dalam majlis akad. Bahkan para ulama fikih juga menyatakan bahwa penguasa adalah wali bagi seseorang yang tidak memiliki wali.
     Sebagaimana diketahui, seorang penghulu adalah seseorang yang diberi izin oleh penguasa –baik pemerintah maupun pengadilan— untuk melaksanakan tugas itu dan menempati posisinya. Sehingga, tugas seorang penghulu tidak hanya terbatas pada pencatatan akad nikah saja, bahkan sering kali juga melaksanakan tugas sebagai wali.

Dalam Mazhab Hanafi Perempuan Boleh Menjadi Wali bagi Dirinya Sendiri dan Bagi Orang lain
     Di negara Mesir, pijakan dalam penetapan hukum dalam masalah ahwal syakhshiyah (hukum perdata keluarga) didasarkan pada pendapat terkuat dalam mazhab Hanafi. Dalam mazhab Hanafi ditetapkan bahwa perempuan yang telah dewasa (rasyîdah) boleh menikahkan dirinya sendiri, menikahkan orang lain atau mewakilkan kepada orang lain dalam pernikahan, karena akad nikah merupakan hak penuh dirinya. Jadi menurut ulama Hanafiyah, seorang perempuan memiliki hak untuk melaksanakan akad nikahnya sendiri, sebagaimana dia mempunyai hak dalam melaksanakan akad jual beli dan akad-akad yang lain.
     Pendapat ini didasarkan pada beberapa ayat dalam Alquran yang menisbatkan perbuatan menikah pada kaum perempuan, sehingga hal itu menunjukkan keabsahan akad yang mereka lakukan. Allah berfirman,
     "Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut." (Al-Baqarah [2]: 234).
    Dan firman-Nya,
    "Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah lagi dengan bakal suaminya". (Al-Baqarah [2]: 232).
    Firman-Nya pula,
    "Hingga dia nikah dengan suami yang lain." (Al-Baqarah [2]: 230).
    Nabi saw. juga bersabda,
اَلْأَيْمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
    "Janda lebih berhak atas dirinya dari walinya."
    Imam Bukhari juga meriwayatkan bawah Khansa` binti Khidzam dinikahkan oleh ayahnya secara terpaksa lalu Nabi saw. menolak pernikahan itu.
    Diriwayatkan pula bahwa ada seorang perempuan menikahkan anak perempuannya dan anak perempuannya itu sendiri menerimanya. Akan tetapi para walinya tidak setuju atas pernikahan itu sehingga mereka melaporkannya kepada Ali r.a.. Maka Ali pun menetapkan keabsahan pernikahan itu.
    Selain itu, diriwayatkan bahwa Aisyah r.a. menikahkan anak perempuan saudaranya, Abdurrahman, dengan al-Mundzir bin Zubair.
    Oleh karena itu, selama dalam ranah fikih kaum perempuan memiliki hak tersebut baik atas diri mereka sendiri atau atas orang lain, maka dibolehkan bagi seorang hakim untuk memberinya izin melaksanakan akad nikah sebagai seorang wali jika hal itu diperlukan. Seorang hakim juga boleh memberinya izin melaksanakan tugas pencatatan penikahan, karena tugas ini hanya menuntut sifat adil (yang dimaksud adil di sini adalah taat terhadap ajaran Islam dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar etika dalam masyarakat) dan memiliki pengetahuan yang cukup. Kedua sifat ini dapat ditemukan dalam sosok seorang perempuan. Penjelasan ini jika dilihat dari aspek hukum syariat dalam masalah ini.
    Namun demikian, perlu diperhatikan juga bahwa jika seorang penguasa hendak menetapkan peraturan atau undang-undang yang sesuai dengan hukum syariat dalam masalah di atas, hendaknya dia memperhatikan kesesuaiannya dengan kondisi masyarakat dan mempertimbangkan maslahat dan mudarat yang ditimbulkan.

    Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam
sumber http://www.dar-alifta.org/

No comments:

Post a Comment