Pages

لْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)

Thursday, May 24, 2012

Qiraat tujuh


DASAR DAN MAKNA QIRA’AT TUJUH

Al Qur’an diturunkan tidak hanya dalam satu riwayat atau bentuk bacaan, tetapi diturunkan dalam banyak riwayat. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah bersabda;

” Jibril telah membacakan Al Qur’an kepadaku dalam satu huruf. Maka aku meminta kepadanya untuk dapat ditinjau kembali. Aku juga selalu meminta kepadanya agar ditambah. Akhirnya ia memberi tambahan sampai tujuh huruf. “ ( HR Bukhari Muslim )

Juga hadits dari Umar bin Khattab, bahwa Rasulullah bersabda;

” Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Maka bacalah mana yang kalian anggap mudah” ( HR Bukhari )

Dengan demikian Qira’at Tujuh ialah ilmu yang membahas tentang tatacara pembacaan Al Qur’an yang meliputi tujuh huruf.


Tujuh huruf menurut Imam Az Zarqani – yang didukung Jumhur Ulama’ – senada dengan pendapat Abu Fadhl Ar Rozi, yang menyatakan bahwa arti tujuh huruf ialah macam-macam riwayat bacaan Al Qur’an yang tidak terlepas dari tujuh macam perbedaan, yakni :

   1. Perbedaan bentuk Isim
   2. Perbedaan bentuk Fi’il
   3. Perbedaan bentuk I’rab
   4. Perbedaan dalam Taqdim dan Ta’khir
   5. Perbedaan dalam Menambah dan Mengurangi
   6. Perbedaan dalam Penggantian
   7. Perbedaan dalam Dialek


KEDUDUKAN ILMU QIRA’AT


Ilmu Qira’at merupakan ilmu yang sangat mulia, karena ia langsung berkaitan dengan firman Allah. Hukum mempelajarinya Fardhu Kifayah. Imam Subki menyatakan, ” Qira’at tujuh sempurna kemutawattir-annya, Dinukil dari Nabi Muhammad oleh sekelompok jama’ah yang tidak mungkin berbohong ”
Lembaga Riset Al Azhar Kairo telah mengeluarkan fatwa, bahwa ilmu Qira’at bukan hasil ijtihad para ulama, melainkan tawqifi yang berpegang teguh pada riwayat yang mutawattir. Oleh karenanya diharapkan seluruh negara Islam dapat menggalakkan pembelajaran ilmu ini di lembaga pendidikan dan dikelola oleh para ahli.


NAMA-NAMA IMAM QIRA’AT


Para Ulama mulai mengadakan penelitian tentang Qira’at di akhir abad kedua hijriah. Dalam rangka memberi penghargaan kepada para Imam ilmu Qira’at, maka nama-nama mereka diabadikan pada qira’atnya masing-masing. Hal ini bukan berarti mereka yang menciptakan qira’at. Qira’at tersebut tetap bersumber dari Rasulullah.


Qiraat Qur’an dan Para Ahlinya


Ilmu Tafsir: Qiraat Qur’an dan Para Ahlinya

Qiraat secara bahasa:
Qiraat adalah jamak dari qira’ah. yang berarti "bacaan", dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qara’a.

Menurut istilah ilmiah:
Qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Al Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.

Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Mereka (imam qiraat) mengajarkan Al Qur’an berdasarkan apa yang mereka dapat dari para sahabat. Di antara sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat ialah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
Melalui para sahabat inilah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qiraat. Di antara tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah, Mekkah, Kuffah, Basrah dan Syam.
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi’in, tampilah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkanlah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini. Para ahli qiraat tersebut di Madinah ialah: Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, kemudian Nafi’ bin Abdurrahman. Di Mekkah: Abdullah bin katsir dan Humaid bin Qais al-A’raj. Di Kuffah: ‘Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-A’masy, kemudian Hamzah dan kemudian al-Kisa’i. Di Basrah: Abdullah bin Abu Ishaq, Isa Ibn ‘Amr, Abu ‘Amr ‘Ala’, ‘Asim al-Jahdari dan Ya’qub al-Hadrami, dan di Syam ialah Abdullah bin ‘Amir, Isma’il bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Harits dan kemudian Syuraih bin Yazid al-Hadrami.

Ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qiraat di seluruh dunia di antara nama-nama tersebut ialah Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir dan Ibn Katsir.
Menurut pendapat yang paling kuat, qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf, meskipun kesamaan bilangan di antara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan mazhab bacaan Al Qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan umat Islam hingga kini. Sumber perbedaan qiraat tersebut ialah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba’, madd, qasr, tasydid, tahkfif, dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf ialah berbeda dengan qiraat, seperti yang telah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir (al-’Urdah al-Akhirah), yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Ustman terdorong untuk mempersatukan umat Islam pada satu huruf, yaitu huruf Quraisy, dan menulikan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut.
Ada tujuh Imam yang diabadikan dalam ilmu qira’at, sehingga dikenal dengan Qira’atus Sab‘ (tujuh), berikut para perawi mereka, yaitu:

   1. Imam Nafi’ ( 70-169 H ) di Madinah. Perawinya adalah Imam Qalun dan Imam Warsy.
   2. Imam Ibnu Katsir ( 45-120 H ) di Makkah. Perawinya adalah Imam Al Bazzi dan Imam Qunbul.
   3. Imam Abu ‘Amr ( 68-154 H ) di Kufah. Perawinya dalah Imam Ad Duri dan Imam As Susi.
   4. Imam Ibnu’ Amir ( 21-118 H ) di Damaskus. Perawinya adalah Imam Hisyam dan Imam Ibnu Dzakwan.
   5. Imam ‘Ashim ( w. 127 H ). Perawinya adalah Imam Syu’bah dan Imam Hafsh. Bacaan Al Qur’an yang beredar di Indonesia ialah menurut riwayat Imam Hafsh.
   6. Imam Hamzah ( 80-156 H ). Perawinya adalah Imam Khalaf dan Imam Khallad.
   7. Imam Al Kisa’i ( w. 189 H ). Perawinya adalah Imam Abul Harits dan Imam Al Duri.


Selain tujuh Imam di atas, masih ada tiga Imam yang qira’atnya dianggap mutawattir – selanjutnya disebut Qira’at Asyr ( sepuluh ) – berikut perawi mereka, yaitu :

   1. Imam Abu Ja’far. Perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz.
   2. Imam Ya’qub. Perawinya adalah Ruwais dan Rauh.
   3. Imam Khalaf. Perawinya adalah Ishaq dan Idris.


Jadi, seseorang yang telah mempelajari ilmu Qira’at Tujuh berarti ia menguasai 14 riwayat bacaan Al Qur’an, karena setiap Imam memiliki dua Perawi. Dan jika ditambah dengan tiga Imam berikutnya, berarti ia mempelajari 20 macam riwayat bacaan Al Qur’an.

Kesimpulannya, bacaan Al Qur’an dengan riwayat yang mutawattir terdiri dari 20 riwayat.





Qiraat Al-Quran Dan Para Ahlinya
Posted on Maret 29, 2007 | Tinggalkan Komentar

Qiraat Al-Quran Dan Para Ahlinya

Qiraat adalah jamak dari qira?ah, yang berarti ?bacaan?, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qara?a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur?an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qiaraat sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur?an kepada orang-orang menurut cara mereka-mereka masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajar qiraat ialah Ubai ra, Ali bin Abi Thalib ra, Zaid ra, Ibn Masud ra dan Abu Musa al Ansary ra serta masih banyak lagi yang lainnya. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi`in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.
Az Zahabi menyebutkan di dalam kitab Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Qur?an ada tujuh orang, yaitu :
1. Usman bin Al-`Affan ra
2. Ali bin Abi Thalib ra
3. Ubai bin Kaab ra
4. Zaid bin Haritsah ra
5. Abu Darda ra
6. Abu Musa al Anshary ra.
7. Ibnu Mas`ud ra.
Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa`id, Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi?in disetiap negri mempelajari qiraat.
Diantara para tabi?in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab, ?Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ?Ata?- keduanya putra Yasar-, Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz al Qari?, Abdurrahman bin Hurmuz al A?raj, Ibn Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Mekkah ialah : Ubaid bin Umar, ?Ata?, bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi?in yang tinggal di Kuffah ialah : Alqamah, al Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr, bin Syurahbil, al Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurahman as Sulami, Said bin Jubair, an Nakha?i, dan as Sya?bi.
Yang tinggal di Basyrah ialah : Abu Aliyah, Abu Raja?, Nasr bin ?Asim, Yahya bin Ya?mar, al Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedang yang tinggal di Syam ialah : al Mughirah bin Abu Syihab al Makhzumi-murid Usman, dan Khalifah bin Sa?d- sahabat Abu Darda?.
Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi?in, tampilah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat yang lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkan;ah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini.
Para qiraat tersebut di madinah ialah : Abu Ja?far Yazid bin Qa?qa?, kemudian Nafi? bin Abdurrahman, ahli qiraat di mekkah ialah : Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al A?raj. Di Kufah ialah : Asim bin Abu Najud, Sulaiman al A?masy, kemudian Hamzah dan kemudian al Kisa?i. Di Basrah ialah : Abdullah bin Abu Ishaq,, Isa Ibn Amr, , Abu A?mar ?Ala?, Asim al Jahdari dan Ya;kub al Hadrami. Dan di Syam ialah : Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al Hadrami.
Ketujuh orang yang terkenal sebagai ahli qiraat diseluruh dunia diantara nama-nama tersebut ialah Abu ?Amr, Nafi? , Asim, Hamzah, al Kisa?I, Ibn ?Amir dan Ibn Kasir.?
Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf- sebagaimana yang dimaksdkan dalam hadis pada bab diatas- menurut pendapat yang paling kuat. Meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan qur?an para imam, yang secara ijma? masih tetap exis dan digunakan umat hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti : tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba?, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yangvtelah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( al ?Urdah al ?Akhirah), yaitu ketika wilayah expansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabata pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana telah kita jelaskan.
Popularitas Tujuh Imam Qiraat
Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja?far Yazin bin Qa?qa? al Madani, Ya?kub Bin Ishaq al Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam diatas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat diluar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz. Seperti qiraat Yazidi, Hasan, A?masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga hijri. Bila tidak demikian maka sebenarnya para imam yang dapat mempertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada abad permulaan kedua umat islam di Basrah memilih qiraat Ibn ?Amr dan Ya?kub; di Kufah orang-orang memilih qiraat Hamzah dan ?Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn ?Amir; di mekkah mereka meilih qiraat Ibn Kasir, dan di madinag memilih qiraat Nafi?. Mereka itulah tujuh orang qari, tetapi pada permulaan abad ke tiga Abu Bakar bin Mujahid menetapkan nama al Kisa?I dan membuang nama Ya?kub dari kelompok tujuh huruf tersebut.
Berkata as Suyuti : ?Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat ialah Abu Ubaid al Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al Kufi, kemudian Ismail bin Ishaq al Maliki, murid Qalun, kemudian Abu Ja?far bin Jarir at Tabari, kemudian Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad Dajuni. Kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampulah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup qiraat maupun tidak, secara singkat maupun panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul islam Abu Abdullah Az Zahabi telah mentusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra Abul Khair bin Jaziri.?
Imam Ibn Jaziri didalam an Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qiraat selain yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh imam saja. Ia wafat pada 324. selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar ialah qiraat-qiraat yang berasal dari tujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat didalam asy- Syatibiyyah dan at-Taisir.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur pada hal masih banyak imam-imam qirat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian para generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabi-tan qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa diantara ahli qiraat itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat adan adanya kesepakatn untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam. Tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam diluar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Ya?kub al Hadrami, Abu Ja?far al Madani, Syaibah bin Nassa? dsb.
Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut, merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari-qari lain yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari? yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat terpercaya. Ibn Jabr al Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi hanya pada lima orang qari saja. Ia memilih seorang Imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman kenegeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu seebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya. Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut. Maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Bahrain itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah.sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari itupun akan terkenal pula. Abu Bakar Ibnul Arabi berkata : Penentuan ketujuh orang qari ini tidak dimaksudkan behwa qiraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga qiraat yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Ja?fa, Syaibah, al A?masyi dll. Karena para qari ini pun kedudukannya sama dengan tujuh atau bahkan lebih tinggi,? pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli qiraat lainnya.
Abu Hayyan berkata : ? Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang mengikutinyasebenarnya tidak terdapat qiraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali. Sebagai misal Abu Amr Ibnul A?la, ia terkenal mempunyai tujuh belas perawi-kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya disebutkan al Yazidi, dan dari al Yazidi inipun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi. Maka bagaimana ia dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as Susi dan ad Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain ? sedang para perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk diambil.? Dan katanya pula:? aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Mujahid ini selain dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya,?
Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurt mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat pra sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih (benar) dan seperti itulah qiraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil qiraat dari yang lain, atau khusus hanya menukilkan qiraat dari imam tujuh orang saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua qiraat berasal dari qurra lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman ialah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat , bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang dihubungkan kepada stiap qari yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati (mujma? ?alaih) da ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari yang tujuh dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal darimereka melebihi qiraat yang bersumber dari qari-qari lainnya.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra?yu (penalaran).
2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, sekalipun hanya mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat teah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara ppenulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya mereka akan menuliskan ?asshiratha? dalam ayat ?ihdinassirathalmustaqim? (al Fatihah: 6) dengan shad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yakni ?assiratha?. Meskipun dalam satu segi berbeda dalam satu rasm. Namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itupun dimungkinkan pula.
Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti ?Maalikiyaumiddin? (al Fatihah: 4), lafal ?Maliki? dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang ?Alif?, sehingga dibaca ??C ??? ? sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula ?Maliki? sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh yang lain.
Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah ?Ta?lamuun?, dengan ?Ta? dan ?Ya?. Juga ?Yaghfirlakum? dengan ?Ya? dan ?nun? dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu.
Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang tedapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya qiraat Ibn ?Amr ?Wabizzuburi wabalkitabi? (Ali-?Imran: 184) dengan menetapkan ?Ba? pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan pula dalam mushaf Syami.
3.Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalan dabit bagi qiraat yang sahih. Apa bila ketiga syarat ini yang terpenuhi, yaitu: 1) sesuai dengan bahasa arab 2) sesuai degan rasm mushaf dan 3) sahih sanadnya, maka qiraaat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraaat yang lemah, syaz atau batil.
Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi ayarat-syarat tersebut, hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan khaidah ini sebagai pedoman bagi qur?an. Hal ini karena qur?an adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur?an sendiri didasarkan pada kesahihan, penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para Qari; bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraaat yang sahih ini menegaskan, kata-kata dalam kaidah diatas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah mengurangi kesahihan, sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka iti tidak perlu dihiraukan. Seperti mensukunkan ?Baari? kum? dan ?Ya? murkum? mengkhafadkan ?Walarham? , menasabkan ?Liyujzi ya qauman? dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat ?Qatlu aula dahum syuraka ihim? dan sebagainya;
Berkata Abu ?Amr ad Dani, para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf qur?an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mentap maka, aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. Zaid bin Sabit berkata? qiraat adalah sunah muttaba?ah, sunah yang harus diikuti.
Baihaqi menjelaskan maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat qur?an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf dan merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur, meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab. Sebagian utama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam :
1. Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
2. Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm Usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat, sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat semacam ini termasuk qiraat yang dapat diapakai atau digunakan.
3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidaj terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya. Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca ?Mutta kiina ?ala rafa rifa khudrin wa aba qariya hisanin? (ar Rahman : 76) dan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca ?Laqad ja akum rasulun min anfusikum? (at Taubah :128), dengan membaca fathah huruf ?Fa?.
4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, sepeti qiraat arab ?Malaka yaumad daini? (al Fatihah: 4), dengan bentuk fi?l madi dan menasabkan ?Yauma?.
5. Maudu,? yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seerti qiraat Ibn Abbas; ? Laisa ?alaikum junahun an tabtaghu fadlan min rab bakum fi mawasimil hajja faidzak fad tum min ?arafatin ? (al Baqarah :198). . kalimat ?fi mawasimil hajja? adalah penafsiran yang disisipkan kedalam ayat.
Keenam macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti Masyhur, tidak boleh dibaca didalam maupun diluar salat.
An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarh Al Muhazzab berkata: ?qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun diluar salat, karena ia bukan qur?an. Qur?an yang ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah satu jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaab itu didalam maupun diluar salat. Para fuqaha bagdad sepakat bahwa orang yang membaca qur?an dengan qiraat yang syaz harus disusruh bertobat. Ibn Abdil Barr menukilkan ?ijma? kaum muslimin bahwa qur?an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak syah salat di belakang orang yang membaca qur?an dengan qiraat-qiraat yang syaz itu.??
1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan pada hal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca qur?an.
3. Bukti kemukjizatan qur?an dari segi kepadatan makna (I?jaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara? tertentu tanpa perlu pergulangan lafaz. Misalnya ayat ?Wam sahu bi ru?u sikum wa arjulikum ila ka?baini? (al Midah:6) dengan m,enasbkan dan mengkhafadkan kata ?Waarjulikum?. Dalam qiraat yang menasabkan dalam penjelasan qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum dengan alasan lafaz itu di ?athafkan kepada ma;mul fi?il masaha ?Wa am sahu biru?usikum waarjulikum? dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan qur?an dari segi kepadatan maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.misalnya, lafaz ?yathhurna? dalam ayat ?Wala taq rabu hunna hatta yathhurna? (al Baqarah: 222), yang dibaca dengan tasydid, ?yaththharna? dan takhfif ?yath hurna?.
Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan tahfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu isteri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya. Karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum isteri tersebut bersuci dari air.
Dan qiraat ?Fam dzu ila dzikrillah? menjelaskan arti yang dimaksud qiraat ?Fas aw? yaitu pergi, bukan berjalan cepat- dalam firmanNya : ?Ya ayyuhall ladzina amanu idza nu diya ti lissalati min yaumil jum?ati fas aw ila dzikrillah? ( al Maidah: 38) sebagai ganti kata ?Aidiya huma? juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong.
Demikian pula qiraat ?Wallahu akhun aw ukhtun min umma falikulla wahidin min humas sudusu? (an Nisa; 12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbulah perbedaan dalam hukumnya.
Berkata Abu Ubaidah dalam fada?ilul qur?an, : maksud qiraat yang syaz ialah ; menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat Aisyah dan Hafsah ?Washalatil wustha shalatil ashri?(al Bqarah:238). Qiraat Ibn Maus?ud ? Faqtha?u aimana huma? (al Maidah:38), dan qiraat Jabir ?Fainnallaha min ba?di ikri hinna lahunna ghafururrahim (an Nur: 33) katanya pula : huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsiran qur?an.
Qiraat- penafsiran- ini adalah diriwayatkan dari tabi?in dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suau qiraat ? tentu hal ini lebih baik dan labih kuat dari pada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang ta?wil yang benar (sahih).
Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnnya adalah :
1. Abu ?Amirbin ?Ala
Beliau seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin ?Ala bin ?Amr Al Mazini Al Basri. Ada yang mengataklan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah Kunyah-nya itu. ia wafat di Kufah 154 H. dan dua orang perawinya adalah ad Dauri dan as Susi.
Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz adDauri anNahwi. Ad Dauri nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 264 H.
As-Susi adalah Abu Syu?aib Salih bin Ziyad bin Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H.
2. Ibn Kasir.
Nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al Makki. Dia termasuk seorang tabi?in dan wafat dimekkah tahun 120 H. dua orang perawinya ialah al Basyi dan qunbul.
Al Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Baza, muadzin di mekkah dia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H.
Sedang Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al Makki al Makhzumi, ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabailah. Ia wafat di mekkah pada 291 H.
3. Nafi? al Madani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwain Nafi? bin Abdrrahman bin Abu Nua?im al Laisi, berasal dari sifahan, dan wafat di madinah pada 169 H. Dua orang perawinya ialah Qalun dan Warasy.
Qalun ialah Isa bin Munya al Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan mempunyai julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi? memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya. Sebab kata Qalun dalam bahasa rumawi berarti baik. Ia wafat dimedinah pada 220 H.
Sedang Warasy ialah ?Usman bin Said al Misry. Ia diberi kunyah Abu Said dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir 198 H.
4. Ibn Amir asy Syami.
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Amir al Yahsubi, seorang qadi (hakim) didamaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabi?in. wafat didamaskus pada 118 H. Dua orang perawinya ialah Hisyam dan Ibn Zakwan.
Hisyam ialah Hisyam bin Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid. Dan wafat pada 245 H.
Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basir bin Zakwan al Qurasyi ad Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H. dan wafat di Damaskus pada 242 H.
5. `Asim al Kufi.
Ia adalah Asim bin Abu Najud, dan dinamakan pula Abu Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabi?in, dan wafat di kufah pada 128 H. dua orang perawinya ialah Syu?bah dan Hafs.
Syu?bah ialah Abu Bakar Syu?bah bin Abbas bin Salim al Kufi. Wafat 193 H.
Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al Bazzaz al Kufi. Nama pangilannya adalah Abu Amr, ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Muin, ia lebih pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar. Wafat pada 180 H.
6. Hamzah AlKufi.
Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az Zayyat al Fardi at Taimi. Ia diberi kunyah Abu Imarah. Dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan bu Ja?far al Mansyur tahun 156 H. Dua orang perawinya ialah Khalaf dan Khalad.
Khalaf ialah Khalaf bin Hisyam al Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhhamad. Wafat dibagdad 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Walid,dn dikatakan pula Ibn Khalid as Sairafi al Kufi. Ia diberi kunyah Abu ?Isa, wafat 220 H.
7. Al Kisa?i Al-Kufi
Beliau adalah Ali bin Hamzah. Seorang imam ilmu nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah Abul Hasan. Dinamakan dengan al Kisai karena ia memakai ?kisa? disaat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama arRsyid pada 189 H. Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad Dauri.
Abul haris adalah al Lais bin Khalid al Bagdadi, wafat pada 240 H.
Sedang Hafs ad Dauri adalah juga perawi Abu Amr yang telah disebutkan terdahulu.
Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh ialah :
8. Abu Ja?far al Madani.
Beliau adalah Yazid bin Qa?qa?, wafat dimadinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132 H. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz.
Ibn Wardan adalah Abul Haris Isa bin Wardan al Madani, wafat dimadinah pada awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi? Sulaiman bin Muslim bin Jimas al Madani, wafat pada akhir 170 H.
9. Ya`kub al Basyri.
Beliau adalah Abu Muhhammad Ya;kub bin Ishaq bin Zaid al Hadrami, wafat di basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula 185 H. Dua orang perawinya ialah Ruwais dan Rauh.
Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al Lu?lu?I al Basyri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin Abdul Mu?min al Basri an Nahwi, wafat pada 234 H atau 235 H.
10. Khalaf.
Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa?lab al Bazar al Baghdadi, ia wafat pada 229 H, tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya ialah Ishaq dan Idris.
Ishaq adalah Abu Ya;kub Ishaq bin Ibrahim bin Usman al Waraq al Marwazi kemudian al Bagdadi. Wafat pada 286 H.
Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al Bagdadi al Haddad. Ia wafat pada hari Idul adha 292 H.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu, keempat qiraat itu adalah :
1. Qiraat al Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum anshar dan kaum tabi?in besar yang terkenal dengan kezuhudannya.wafat pada 110 H.
2. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin, wafat pada 123 H. dan ia adalah syaikh. Guru Abu Amr.
3. Qiraat Yahya bin Mubarak al Yazidi an Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari Abu Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad Dauri dan as Susi. Wafat pada 202 H.
4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy Syanbusy, wafat 388 H.



Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at ada beberapa macam; Mutawatir, Ahad, dan Syadz. Mereka menjadikan qira’at Mutawatir berjumlah tujuh. Qira’at Ahad adalah tiga qira’at untuk menggenapkan menjadi sepuluh qira’at, dan juga qira’at yang dibaca para Shahabat. Adapun selain itu maka ia adalah qira’at Syadz.

Ada yang berpendapat bahwa sepuluh qira’at itu adalah Mutawatir. Ada lagi yang mengatakan bahwa yang dijadikan sandaran (pedoman) dalam masalah ini adalah kaidah-kaidah bukan jumlah, sama saja apakah ia termasuk qira’at yang tujuh, atau qira’at yang sepuluh atau pun yang lainnya. Abu Syamah rahimahullah dalam kitab “al-Mursyid al-Wajiz” berkata:”Tidak sepantasnya kita tertipu/terpedaya dengan setiap qira’at yang disandarkan kepada salah satu qari’ dari Qurra’ yang tujuh, dan kita melabelinya dengan label shahih, dan bahwasanya al-Qur’an itu diturunkan dengan qira’at seperti itu, kecuali jika qira’at tersebut masuk ke dalam kaidah itu (kaidah akan disebutkan pada paragraf berikutnya). Dengan demikian seorang penulis yang menukil qira’at dari selain ketujuh qira’at itu tidak kita dikatakan menyendiri/terasing disebabkan penukilan qira’at tersebut. Dan juga keshahihan qira’at tidak hanya khusus bagi yang menukil qira’at dari ketuuh Qurra’ tersebut. Akan tetapi, jika ia dinukil dari selain ketujuh Qurra’ itu, maka hal itu tidak mengeluarkan qira’at tersebut dari status shahih, karena sesungguhnya yang menjadi pedoman (acuan) adalah terkumpulnya sifat-sifat (ciri-ciri) tertentu dalam sebuah qira’at, bukan kepada siapa qira’at itu dinisbatkan (sandarkan). Hal itu karena sesungguhnya qira’at-qira’at yang dinisbatkan kepada ktujuh Qurra’ dan kepada selain mereka terbagi menjadi dua yaitu; qira’at disepakati, dan qira’at Syadz. Hanya saja karena ketenaran mereka (ketujuh Qurra’) dan banyaknya ke-shahih-an (kebenaran) yang disepakati yang ada pada qira’at mereka, maka hal itu membuat hati menjadi condong (untuk menerima) apa yang dinukil dari mereka melebihi qira’at yang dinukil dari selain mereka.”

Ukuran (tolok ukur) dalam kaidah qira’at menurut mereka adalah sebagai berikut:

1. Kesesuaiannya dengan satu ragam dari beberapa macam ragam bahasa Arab, , sama saja apakah ia ragam bahasa Arab yang fasih atau afshah (lebih fasih). Karena qira’at adalah sunnah yang diikuti, wajib untuk diterima dan jalan untuk mengarah kepadanya adalah dengan menggunakan sanad, bukan dengan ra’yu (akal/rasio).

2. Qira’at tersebut sesuai dengan salah satu mushaf ‘Utsmani, walaupun bersifat kemungkinan (tidak secara pasti). Karena para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di dalam penulisan mushaf ‘Utsmani mereka berijtihad dalam membuat rasm (bentuk tulisan/khat) berdasarkan apa yang mereka ketahui dari bahasa-bahasa Qira’at. Maka mereka menulis ÇáÕÑÇØ misalnya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ÇåúÏöäóÇ ÇáÕöøÑóÇØó ÇáúãõÓúÊóÞöíãó {6}

Dengan menggunakan huruf Õ -sebagai ganti dari huruf Ó- mereka tidak menggunakan huruf Ó yang ia adalah asal dari kata tersebut, supaya qira’at (bacaan) Ó (ÇáÓÑÇØ). Dan meskipun ia menyelisihi rasm (tulisan) dari satu ragam, namun ia telah datang sesuai dengan asal mula kata tersebut secara bahasa yang telah dikenal, sehingga keduanya seimbang dan jadilah bacaan dengan isymam mungkin untuk dilakukan. (Isymam adalah memonyongkan kedua bibir seperti orang yang hendak mengucapkan dhommah namun dampak dari pemonyongan bibir tidak tampak dalam ucapan)

Dan yang dimaksud dengan kesesuaian yang bersifat kemungkinan adalah yang semisal denga hal di atas. Seperti dalam bacaan ãóÇáößö íóæúãö ÇáÏöøíäö{4}, maka sesungguhnya lafazh ãÇáß ditulis dalam semua mushaf al-Qur’an tanpa menggunakan huruf Alif. Maka ia bisa dibaca ãóáößö sehingga ia benar-benar sesuai dengan tulisan di mushaf, dan juga ia bisa dibaca ãóÇáößö sehingga ia sesuai dengan mushaf namun bersifat kemungkinan. Dan demikian pula pada contoh-contoh yang lain.

Dan contoh kesesuaian/kecocokan antara perbedaan Qira’at dengan rasm secara pasti adalah dalam kata ÊóÚúáóãõæäó, karena ia dibaca dengan Ta’ dan juga dengan Ya’. Demikian juga kata íóÛúÝöÑú áóßõãú, ia bisa dibaca dengan Ya’ dan Nun. Dan bacaan-bacaan lain yang semisal dengan hal itu. Ketiadaan titik dan harakat dalam suatu huruf ketika dihapus ataupun ditulis adalah salah satu hal yang menunjukkan keutamaan agung yang dimiliki oleh para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dalam ilmu tentang ejaan, dan juga menunjukkan pemahaman mereka yang mendalam dalam menerapkan setiap ilmu.

Dan tidak disyaratkan di dalam Qira’at yang shahih kecocokan/kesesuaiannya dengan seluruh mushaf yang ada, dan cukup dengan kecocokannya dengan sebagian saja. Hal itu seperti Qira’at Ibnu ‘Amir:æóÈöÇáÒõøÈõÑö æóÈöÇáúßöÊóÇÈ dengan menuliskan huruf Ba’ pada kedua kata tersebut (padahal pada Qira’at imam yang lain dan yang tertulis di mushaf yang ada pada kita sekarang æóÇáÒõøÈõÑö æóÇáúßöÊóÇÈö ). Maka sesungguhnya Qira’at Ibnu ‘Amr ini sesuai dengan tulisan yang ada di mushaf Syami (mushaf yang ada di Syam).

3. Qira’at tersebut harus shahih sanadnya. Karena Qira’at adalah sunnah yang diikuti, yang didasarkan pada kebenaran penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali para ahli bahasa Arab mengingkari suatu Qira’at di antara macam-macam Qira’at yang ada dengan alasan keluarnya Qira’at tersebut dari aturan/kaidah bahasa Arab, atau karena lemahnya ia dari sisi bahasa. Namun para imam ahli Qira’at tidak mengindahkan dan memeperhatikan pengingkaran tersebut (karena mereka lebih mengepankan keshahihan sanad. Wallahu A’lam, ed)

Itulah patokan untuk sebuah Qira’at yang shahih. Mak jika terpenuhi ketiga rukun; Pertama, kecocokannya dengan bahasa Arab, Kedua, Kecocokannya dengan mushaf dan Ketiga adalah shahihnya sanad qira’at tersebut, maka ia adalah Qira’at yang shahih. Dan kapan saja hilang salah satu rukun atau lebih dari rukun-rukun tersebut, maka Qira’at tersebut dinamakan dengan Qira’at Dha’if, atau Syadz atau Batil.

Dan termasuk hal yang mengherankan adalah bahwa sebagian ahli Nahwu (ilmu tata bahasa Arab) –setelah hal di atas- menyalahkan Qira’at Shahih yang di sesuai dengan kaidah-kaidah di atas, hanya dikarenakan Qira’at tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu Nahwu yang mereka susun yang dengannya mereka menghukumi keshahihan sebuah bahasa. Padahal Seharusnya kita menjadikan Qira’at Shahih sebagai hakim yang menghukumi benar dan tidaknya sebuah kaidah dalam ilmu Nahwa dan bahasa, bukan dengan menjadikan kaidah bahasa sebagai hakim dalam al-Qur’an (yang menghakimi sah dan tidaknya sebuah Qira’at, ed). Karena al-Qur’an adalah sumber pertama dan pokok untuk pengambilan kaidah-kaidah bahasa. Dan al-Qur’an (dalam penetapannya) bersandarkan kepada keabsahahan penukilan dan periwayatan yang menjadi sandaran para imam Qurra’, dalam sisi bahasa apapun.

Ibnul Jazri rahimahullah berkata ketika mengomentari syarat pertama dari kaidah-kaidah dalam Qira’at Shahih:”Perkataan kami dalam kaidah di atas “Sekalipun (cocok) dengan satu ragam”, yang kami maksudkan adalah satu ragam dari beberapa macam ragam ilmu nahwu, sama saja apakah ia fasih atau afshoh (lebih fasih), apakah ia disepakati atau diperselisihkan dengan perselisihan yang tidak parah, (dengan syarat) jika Qira’at tersebut merupakan Qira’at yang sudah popoler, tersebar dan diterima oleh para imam yang ahli dalam masalah sanad yang shahih. Karena sanad adalah pokok yang terpenting dan rukun yang paling lurus. Betapa banyak Qira’at yang diingkari oleh sebagian ahli Nahwu atau kebanyakan dari mereka, namun pengingkaran mereka tidak dianggap. Seperti pen-sukun-an kalimat ÈóÇÑöÆößõãú dan íóÇúãõÑúßõãú , pen-kasrah-an kata æóÇáÃóÑúÍóÇãööö, pem-fathahan kata áöíóÌúÒöíó ÞóæúãÇð, dan juga pemisahan antara Mudhaf dengan Mudhaf ilaihi ÞÊá ÃæáÇÏåã ÔÑßÇÆåã dan yang lainnya.” (Lihat al-Itqaan)

Abu ‘Amr ad-Dani rahimahullah berkata:”Para imam Qurra’ tidak menetapkan sedikitpun dari huruf-huruf al-Qur’an berdasarkan apa yang paling populer dalam bahasa Arab dan apa yang paling sesuai dengan Qiyas (analogi) dalam bahasa Arab, akan tetapi berdasarkan yang paling valid dalam periwayatan dan paling shahih dalam penukilan. Dan jika sebuah Qira’at telah valid maka qiyas bahasa Arab dan kepopuleran dialek tidak bisa menolaknya. Karena Qira’at adalah sunah yang diikuti, wajib diterima dan dijadikan rujukan.”

Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata:”Qira’at adalah sunah yang diikuti.” Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:”Maksud beliau adalah mengikuti orang-orang sebelum kita dalam masalah huruf-huruf al-Qur’an adalah sunnah yang harus diikuti, tidak boleh menyelisihi mushaf yang ia adalah pedoman, dan tidak boleh pula menyelisihi Qira’at yang masyhur sekalipun yang selain itu boleh di dalam kaidah bahasa (Arab, ed).”

Dan sebagian ulama mengklasifikasikan macam-macam Qira’at, lalu mereka menjadikannya enam macam:

1. Pertama: Mutawatir, yaitu Qira’at yang dinukil oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan dari oerang-orang yang seperti mereka hingga ke akhir sanad, dan ini yang dominan di dalam Qira’at.

2. Kedua: Masyhur, yaitu yang sanadnya shahih namun tidak sampai ke tingkatan Mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm, terkenal di kalangan para Imam Qurra’, dan mereka tidak menganggapnya keliru atau ganjil. Dan para Ulama menyebutkan bahwa Qira’at jenis ini boleh diamalkan bacaannya.

3. Ketiga: Ahad, yaitu yang sanadnya shahih, namun menyelisihi rasm atau menyelisihi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal sebagaimana terkenalnya Qira’at yang telah disebutkan. Dan yang ini tidak diamalkan bacaannya. Dan di antara contohnya adalah yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim rahimahullah dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca:

ãÊßÆíä Úáì ÑÝÇÑÝ ÎÖÑ æÚÈÇÞÑí ÍÓÇä

Qira’at di atas dalam mushaf dibaca:

ãõÊóøßöÆöíäó Úóáóì ÑóÝúÑóÝò ÎõÖúÑò æóÚóÈúÞóÑöíòø ÍöÓóÇäò (76)

”Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani yang indah.” (QS. Ar-Rahman: 76)

Dan juga yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau membaca: (surat At-Taubah ayat 128)

áóÞóÏú ÌóÂÁóßõãú ÑóÓõæáñ ãöøäú ÃóäúÝóÓößõãú… {128}

Dengan menfathahkan huruf Fa’ dalam ãöøäú ÃóäúÝóÓößõãú (padahal di Qira’at yang lain dengan menkasrahkan Fa’)

4. Keempat: Syadz, yaitu yang tidak shahih sanadnya. Seperti Qira’at:

ãóáóßó íóæúãó ÇáÏöøíäö {4}

Dengan kata kerja bentuk lampau, yaitu ãóáóßó (malaka) dan mem-fathah-kan kata íóæúãó (di Qira’at yang benar dengan meng-kasrah-kannya).

5. Kelima: Maudhu’, atau palsu yaitu yang tidak ada asal-usulnya.

6. Keenam: Mudraj, atau yang disisipi, yaitu ucapan yang ditambahkan dalam Qira’at (yang shahih) sebagai bentuk penafsiran. Seperti Qira’at Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

{ áóíúÓó Úóáóíúßõãú ÌõäóÇÍñ Ãóäú ÊóÈúÊóÛõæÇ ÝóÖúáÇ ãöäú ÑóÈöøßõãú Ýí ãæÇÓã ÇáÍÌ . ÝóÅöÐóÇ ÃóÝóÖúÊõãú ãöäú ÚóÑóÝóÇÊò… }

Dan ucapan Ýí ãæÇÓã ÇáÍÌ adalah tafsir yang disisipkan dalam ayat.

Maka keempat Qira’at yang terakhir (dari no 3-5) tidak diamalkan (tidak boleh membaca al-Qur’an dengan Qira’at tersebut)

Jumhur ulama berpendapat bahwa Qira’at Sab’ah adalah Mutawatir, dan selain yang Mutawatir dan Masyhur maka tidak boleh membaca dengannya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh al-Muhadzadzab:”Tidak boleh membaca dengan Qira’at Syadz di dalam shalat mapupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an. Karena al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan nukilan yang Mutawatir, dan Qira’at Syadz tidak Mutawatir. Dan barangsiapa yang berkata dengan selain ini maka ia adalah orang yang keliru dan bodoh. Maka jika seseorang menyelisihi dan membaca dengan Qira’at Syadz, maka Qira’atnya diingkari, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Dan para ulama Baghdad telah sepakat bahwa barangsiapa yang membaca dengan Qira’at Syadz maka ia diminta bertaubat. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah menukil Ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslimin tentang tidakdiperbolehkannya membaca dengan Qira’at Syadz, dan juga tidak diperbolehkannya shalat di belakang imam yang membaca Qira’at ini (Syadz).”

(Sumber: ãÈÇÍË Ýí Úáæã ÇáÞÑÂä Syaikh Manna al-Qaththan, Maktabah Ma’arif Linasyr wat Tauzi’ Riyadh, hal 176-180. Diterjemahkan dan dipsoting oleh Abu Yusuf Sujono)



oleh: baihaqi, dkk

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa proses kodifikasi al-Qur’an pada masa khalifah Usman berada pada titik kritis kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira’at yang satu dengan aliran qira’at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Usman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi intelektual diantara mereka. Adanya pengklaiman qiraatnya paling benar dan qiraat orang lain salah merambah dimana-mana.
Hal ini menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Situasi demikian sangat mencemaskan Khalifah Usman. Untuk itu ia  mengundang para sahabat terkemuka untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang disimpan di rumah Hafsah disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke berbagai kota, untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu terjadi perselisihan sistem qira’at. Sementara itu, Khalifah Usman memerintahkan untuk membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi pada masanya yang dikenal dengan nama Mushaf Imam. Kebijakan khalifah Usman ini di satu sisi merugikan karena menyeragamkan qiraat yakni dengan lisan Quraish (dialek orang-orang Quraish), namun disisi lain lebih menguntungkan yakni umat Islam bersatu kembali setelah terjadi saling menyerang dan menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Berkenaan dengan keadaan di atas, maka pada pertengahan kedua di abad I H, dan pertengahan awal di abad II H, para ahli qira’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai sistem qira’at al-Qur’an yang berkembang pada saat itu. Hasilnya, tujuh sistem qira’at al-Qur’an yang berhasil dipopulerkan dan dilestarikan oleh mereka, dinilai sebagai tergolong mutawatir yang bersumber dari Nabi saw. Inilah yang dikenal dengan sebutan qira’at sab’at (qira’at tujuh). Sehingga pada masa berikutnya para mufassir memandang perlunya dimasukkan ilmu qiraah dalam ulumul qur’an. Karena dengan adanya perbedaan dalam pembacaan al-qur’an, menimbulkan perbedaan pula dalam mengistimbatkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat al-qur’an. Sehingga menjadi bahan pertimbangan para mufassir dalam menafsirkan al-qur’an. Oleh karena itulah, tergerak hati kami untuk menyusun makalah mengenai qira’ah selain sebagi tugas, juga karena ilmu ini memilki urgensi dalam mengistimbatkan hukum islam.
B.     Identifikasi masalah
Untuk menambah pengetahuan pembaca, maka dapat disimpulkan beberapa pokok pembahasan:
A)    Pengertian dan perkembangan ilmu qira’ah
B)    Macam-macam qira’ah yang diterima dan ditolak serta kriterianya
C)    Faedah perbedaan qira’ah

C.    Rumusan masalah
Secara garis besar terdapat beberapa rumusan masalah, diantaranya:
A.    Apa pengertian ilmu qira’ah dan sejak kapan ilmu qira’ah itu muncul serta menjadi suatu disiplin ilmu?
B.     Apa  saja kriteria qira’ah agar dapat disebut sebagai qiraah shahih/mutawatir ?
C.     Apa faedah adanya perbedaan qira’ah dikalangan umat ?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian

Secara etimologi lafal Qira’at adalah bentuk jamak dari Qira’ah yang merupakan bentuk masdar dari Fi’il Madi Qara’a yang artinya bacaan. Dari segi terminologi para ahli mengemukakan sebagaimana berikut :

1.       Ibn Al Jazari , mengemukakan bahwa qira’at merupakan pengetahuan tentang cara-cara mengucapkan kalimat-kalimat Al Qur’an dan perbedaannya.

2.       Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni, berpendapat bahwa qira’at adalah madzhab bacaan Al Qur’an yang dibawa oleh seorang imam qurra’ yang berbeda dengan (bacaan imam) lainnya beserta sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.[1]

3.      Manna’ Kholil Al-Qattan, mendefinisikan bahwa qira’at adalah salah satu madzhab (aliran) pengucapan lafal Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan yang lainnya.[2]

Dari berbagai macam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Qira’at adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara membaca Al Qur’an dengan pengucapan lafal-lafal yang baik dan benar. Qira’at tersebut merupakan suatu madzhab yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ yang berbeda (bacaannya) dengan madzhab yang lain dan di tetapkan berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah.
Perlu diluruskan kembali, menurut pendapat yang paling sahih bahwa qira’at-qira’at itu bukanlah tujuh huruf. Meskipun ada kesamaan di antara keduanya yang mengesankan demikian. Akan tetapi,  qira’at ini tidak lain hanyalah suatu madzhab bacaan al-qur’an yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan umat islam hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan lahjah (logat), cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgam, izhar, isyba’, madd, qasr, tasydid, takhfif dan sebagainya. Namun semua itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.[3]


A.    Sejarah Perkembangan Qira’at
            Memang tidak tercatat mengenai kapan tepatnya ilmu qira’at itu muncul. Tetapi yang jelas, mula-mula orang yang pertama menulis tentang ilmu Qira’at tersebut adalah Abu Ubaid Al- Qosim Ibn Salam (wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira’at dengan bacaannya masing-masing, para tokoh lain yang turut melopori lahirnya ilmu Qira’at adalah Abu Hatim Al-sijistany, Abu Ja’far al-Thabary dan Ismail al-Qodhi.
            Periode qurra’ (para ahli atau imam qira’at) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada masyarakat menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa shahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at dan mereka semua berpegang kepada rasulullah.
            Imam az-Zahabi menyebutkan di dalam Tabaqatul Qurra’, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira’at al-qur’an ada tujuh orang, yaitu Usman, Ali, Ubai, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari.  Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qira’at dari Ubai, di antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid.
            Kemudian, terhadap para sahabat  itulah sejumlah besar  tabi’in mempelajari qira’at di setiap negeri. Sebagian dari meraka ada yang tinggal di madinah yaitu Ibnu Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ‘Ata’ –keduanya putra Yasar-, Mu’adz bin Hariz yang terkenal dengan Mu’az al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundab, dan Zaid bin Aslam. Di antara mereka yang tinggal di mekkah ialah ‘Ubaid bin Umair, Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ’Ikrimah dan Abu Malikah. Tabi’in yang tinggal di kufah ialah ‘Alqamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, al-Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman as-Sulami, Sa’id bin Jabir, an-Nakha’i dan as-Sya’bi. Yang tinggal di basrah ialah Abu Aliyah, abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan yang tinggal di syam ialah al-Mughirah bin abu Syihab al-Makhzumi, -murid Usman-, dan khalifah bin Sa’ad  -sahabat abu darda’­-.
            Pada permulaan abad pertama hijriah, sejumlah ulama’ dari kalangan tabi’in membulatkan tekad dan perhatiannya untuk menjadikan qira’at ini sebagai disiplin ilmu yang independen sebagaimana ilmu-ilmu syari’at lainnya. Sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti oleh generasi ke generasi sesudahnya. Bahkan dalam generasi tersebut terdapat banyak imam yang bermunculan dan mulai sejak ini sampai sekarang kita mengikutinya serta mempercayainya sebagai madzhab qira’at. Para ahli qira’at tersebut di madinah ialah abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’ dan Nafi’ bin Abdurrahman. Di mekkah ialah Abdullah bin Katsir al- qurosyi dan Humaid bin Qais al-‘Araj. Di kufah ialah ‘Asim bin Abun Najud, Sulaiman al-Amasyi, Hamzah bin Habib dan Ali Kisa’i. Di basrah ialah Abdullah bin Abu Ishaq, Isa ibn ‘Amr, Abu Amr ‘Ala’, ‘Asim al-Jahdari, dan Ya’qub al-Hadrami. Kemudian di syam ialah Abdullah bin Amir, Isma’il bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Haris dan Syuraih bin Yazid al-Hadrami.
            Dari sekian banyak para imam qira’at di atas, ada tujuh imam yang terkenal (masyhur) sebagai ahli qira’at di seluruh dunia yaitu Abu Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir, Ibn Kasir. Bacaan para imam ini yang lazim disebut qira’ah sab’ah.
            Qira’ah sab’ah menjadi termasyhur pada permulaan abad kedua hijriah. Orang-orang basrah memakai qira’at Abu Amr dan Ya’qub, Orang-orang kufah memakai qira’at Hamzah dan ‘Asim, Orang-orang syam memakai qira’at Ibn Amir,  Orang-orang mekkah memakai qira’at Ibn Kasir, dan orang-orang madinah memakai qira’at Nafi’.
            Pada abad ketiga hijriyah, Qira’at ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H) di Bagdad. Beliaulah yang membukukan Qira’ah sa’bah atau tujuh Qira’at dari tujuh imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. tujuh imam Qari’ah tersebut ialah :

1)      Ibn Amir                                                                            
Nama lengkapnya Abu Imran Abdullah bin Amir al-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di Damaskus pada masa pemerintahan Ibn Abd al-Malik.Beliau lahir pada tahun 21 H. Beliau berasal dari kalangan tabi’in yang belajar Qira’at dari al-Mughirah Ibn Abi Syihab al-Mahzumi, Usman bin Affan dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H Damaskus. Rowi beliau yang terkenal dalam Qira’at yaitu Hisyam(wafat tahun 245H) dan Ibn Dzakwan(wafat tahun 242 H) .
                                         
2)      IbnKatsir
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Katsir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in yang pernah hidup bersama sahabat abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Anas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, rowinya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).

3)      ‘AshimAl-Khufy
Nama lengkapnya ‘Ashim Ibn Abi Al-Najud al-Asadi, disebut juga Ibn Bahdalah.  Nama panggilannya adalah Abu Bakar, beliau seorang tabi’in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah.Beliau merupakan imam qiro’aat Kufah yang paling bagus suaranya dalam membaca al-qur’an. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu’bah (wafat tahun 193 H) dan Hafs (wafat tahun 180 H).

4)      AbuAmr
Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A’la Ibn Ammar al-Bashri yang sering juga dipanggil Yahya.Beliau merupakan satu-satunya imam qira’at yang paling banyak guru qira’atnya Beliau seorang guru besar qira’at di kota bashrah yang wafat di Kuffah pada tahun 154 H.Rowinya yang terkenal ialah  Abu Amr ad-Dury (wafat tahun 246 H) dan Ibnu Zyad as- Susy (wafat tahun 261 H)
                     
5)      Hamzah
Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh al-Thaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah Kholaf (wafat tahun 229 H) dan Khollad (wafat tahun 220 H).

6)      Nafi’
Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi’ Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-Laisry. Beliau lahir di Isfahan pada tahun 70 dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Beliau adalah seseorang yang ketika berbicara selalu keluar bau wewangian misik dari mulutnya. Perawinya adalah Qolun (wafat tahun 220 H) dan Warsy (wafat tahun 197 H).

7)      Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abul Hasan Ali Ibn Hamzah Ibn Abdillah Al-Asady. Selain imam Qori’ beliau terkenal juga sebagai imam nahwu golongan Kufah. Sering juga disebut Kisa’i karena sewaktu berihram beliau memakai kisa. Beliau wafat pada tahun 189 H di Ronbawyan yaitu sebuah desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju Khurasan bersama al-Rasyid. Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat tahun 242 h) dan Al-Dury (wafat tahun 246 H).

B.     Macam-macam qira’at, hukum dan kaedahnya
            Sebagian ulama mengatakan bahwa qira’at ada tiga macam yaitu mutawatir, ahad dan syadz. Qira’at mutawatir ialah qira’ah sab’ah yang termasyhur, sedang yang ahad ialah qira’at tsalastah yang kemudian menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at yaitu Abu Ja’far Yazin bin Qa’qa’ al-madani, ya’qub bin ishaq al-Hadrami dan khalaf bin Hisyam. Seluruh qira’at selain dari qiraat yang sepuluh itu dipandang qiraat syadz, seperti qiraat Yazidi, Hasan, A’masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Kemudian yang menjadi pegangan terhadap timbulnya berbagai macam qira’at tersebut adalah ketentuan atau kaedah tentang qira’at yang shahih.
            Menurut mereka, ketentuan atau kaedah qiraat yang shahih adalah sebagai berikut :
1)      Qira’at tersebut sesuai dengan kaedah bahasa arab. Meski hanya dalam satu segi, sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi sebuah rujukan dengan berdasarkan pada sanad, bukan ra’yu (penalaran).
2)      Qira’at harus sesuai dengan salah satu mushaf usmani, meskipun hanya mendekati saja. Karena, dalam penulisan mushaf-mushaf para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui. Yang di maksud  dengan hanya sekedar mendekati (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh berikut : ãÇáß íæã ÇáÏíä (al-fatihah : 4). Lafaz  ãÇáß ditulis dalam semua mushaf dengan membuang alif, sehingga di baca  ãáß  sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula ãÇáß sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh-contoh yang lain.
3)      Qira’at harus sahih isnadnya, karena qiraat merupakan sunnah yang diikuti dan didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
            Itulah kriteria-kriteria atau yang di sebut juga dengan syarat-syarat qira’at yang sahih (maqbul). Apabila semua kriteria di atas terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang sahih. Jika salah satu kriteri atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at tersebut dinamakan qira’at syadz atau bahkan batil.
            Sebagian Ulama lain menyimpulkan qiraat menjadi enam macam:
            Pertama: Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukilkan oleh sejumlah besar qiraat yang tidak mungkan bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yaitu Rasullulah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
            Kedua: Masyhur, yaitu qiraat yang shahih sanadnya tetapi tidak mecapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah arab dan rasam usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang syaz. Para ulama berpendapat bahwa qiraat macam ini termasuk qiraaat yang dapat dipakai.
            Ketiga: Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidak terkenal. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat dipakai atau digunakan.
            Keempat: Syadz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, seperti qiraat ãóáóßó íóæúãó ÇáÏöøíúäö , dengan bentuk fi’l madhi dan menasabkannya.
            Kelima: Maudhu’, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya
            Keenam: Mudraj, yaitu sesuatu yang ditambah dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat ibnu ‘abbas: áóíúÓó Úóáóíúßõãú ÌõäóÇÍñ Ãóäú ÊóÈúÊóÛõæúÇ ÝóÖúáÇð ãöäú ÑóÈöøßõãú Ýöì ãóæóÇÓöãö ÇáÍóÌöø ÝÅÐóÇ ÃóÝóÖúÊõãú ãöäú ÚóÑóÝóÇÊò  , kalimat Ýöì ãóæóÇÓöãö ÇáÍóÌöø  adalah penafsiran yang disisipikan kedalam ayat.
            Ketiga macam yang terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaanya.
            Nawawi dalam Syarah al-Muhazzab berkata, “ Qiraat yang syadz tidak boleh dibaca baik didalam maupu diluar shalat. al-qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qiraat syadz tidak mutawatir. Para fuqaha Bagdad sepakat bahwa orang yang membaca al-qur’an dengan qiraat yang syadz harus disuruh taubat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa al-qur’an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syadz dan juga tudak sah shalat di belakang orang yang membaca al-qu’ran dengan qiraaat-qiraat syadz itu.”

C.    Faedah perbedaan qira’ah
            Bervariasinya qiraat yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya:
1)      Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab allah dari perubahan dan penyimpangan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2)      Meringankan umat islam dan memudahkan mereka membaca al-qur’an.
3)      Bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan makna (‘ijaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafaz. Misalnya ayat (al-maidah [5]:6) æÇãÓÍæÇ ÈÑÄæÓßã æÇÑÌáßã Çáì ÇáßÚÈíä, dengan menasabkan dan mekhafadkan kata  æÇÑÌáßã . dalam qiraat yang menasabkanya terdapat penjelasan tentang hukum membasuh kaki, karena ia di’atafkan kepada ma’mul fi’il (objek kata kerja) gasala ÝÇÛÓáæÇ æÌæåßã æÇíÏíßã Çáì ÇáãÑÇÝÞ  . sedang qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum menyapu sepatu ketika terdapat keadaan yang menuntut demikian, dengan alasan lafaz itu di’atafkan kepada ma’mul fi’il masaha æÇãÓÍæÇ ÈÑÄæÓßã æÇÑÌáßã Çáì ÇáßÚÈíä. Dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum dalam satu ayat. Inilah sebagian makna dari kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan maknanya.
4)      Penjelasan terhadap apa yang masih global dalam qiraat lain. Misalnya, lafaz íóØúåõÑúäó dalam ayat æóáÇóÊóÞúÑóÈõæúåõäóø ÍóÊóøì íóØóøåóøÑúäó , yang dibaca dengan tasydid  íóØóøåóøÑúäó dan thakfif  íóØúåõÑúäó. Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengna takhfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu istri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah dari haid, sebelum istri tersebut bersuci dengan air.




















BAB III
KESIMPULAN
Qira’ah al-qur’an adalah mazhab pembacaan alqur’an dari para imam qura’ yang masing-masing mempunyai perbedaan dalam pengucapan alqur’an al-karim dan disandarkan pada sanad-sanadnya sampai kepada rasullulah Saw. Perbedaan-perbedaan bacaan umat muslim sesuai mazhab qiraah yang diikutinya, ini menunjukkan betapa islam sangat menghargai perbedaan. Perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat menimbulkan perpecahan, bahkan merupakan sebuah rahmat. Sebagaimana sabda rasullah dalam sebuah hadist “ perbedaan yang terjadi dalam umat-ku adalah rahmat”. Dengan perbedaan dalam pembacaan qiraah menimbulkan perbedaan dalam mengistimbatkan hukum ( dimana satu hukum dengan hukum lainnya saling menguatkan). Ketika seorang mufassir menafsirkan al-qur’an menurut mazhab yang diikutinya, maka ia melahirkan hukum yang berbeda dengan mufassir lain yang mengambil ( mengikuti) mazhab lain.
Perlu ditegaskan kembali bahwa qira’at-qira’at itu bukanlah tujuh huruf, karena persoalan tentang tujuh huruf tersebut telah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( ‘urdah al-akhirah ), yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat dan pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy.
Inilah diantara mukjizat-mukjizat yang ada dalam al-qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Al-qur’an diturunkan bukan untuk memberatkan umat akantetapi memberikan kemudahan bagi umat manusia.


No comments:

Post a Comment