Pages

لْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)

Tuesday, May 22, 2012

Hak Kekayaan Intelektual dan Merek Dagang

Syariah Islam mempunyai keistimewaan dalam prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman hidupnya yang telah ditetapkan Allah guna memudahkan urusan manusia dan mengatur kehidupan mereka. Telah diketahui bersama betapa Islam sangat tegas dalam menjaga dan menghormati hak-hak kaum muslimin. Banyak ayat serta hadis yang menyatakan secara gamblang tentang keharaman melakukan pencurian dan menyatakan bahwa pelakunya sebagai pelaku kriminal, serta menetapkan sangsi-sangsi yang dapat membuat jera para pelakunya.

    Dalam pada itu, sudah jelas bahwa pencurian hak kekayaan intelektual dan merek dagang asli atau menggunakannya dengan cara yang tidak dibenarkan tidak kalah bahayanya dari pencurian biasa. Hal ini karena perbuatan tersebut sangat merugikan para pemiliknya serta menghalagi mereka untuk maju dan berkembang. Hal itu juga dapat mencemarkan nama baik pemiliknya akibat adanya penipuan secara sengaja terhadap para konsumen.

Pertanyaannya adalah:
 

1. Apa hukum pencurian hak kekayaan intelektual serta merek dagang asli dan terdaftar itu?
 2. Apa hukum membuka toko yang memperdagangkan barang-barang bermerek palsu dan menipu para konsumen dengan mengatakan bahwa barang-barang itu adalah asli?
 3. Apa hukum orang yang berkerja di tempat tersebut?
 4. Apa hukum orang yang melakukan transaksi dengan para pemroduksi barang dengan merek palsu tersebut?
 5. Apakah sangsi yang tepat dan setimpal bagi para pelaku pencurian tersebut?
Jawaban : Dewan Fatwa


    Islam sangat memperhatikan hak kepemilikan harta dan menjadikannya sebagai salah satu dari lima tujuan utama yang menjadi pondasi syariah. Kelima tujuan itu adalah menjaga jiwa, kehormatan, akal, harta dan agama. Hak cipta –baik dalam bentuk tulisan, karya seni dan lain sebagainya—, hak paten dan merek dagang merupakan beberapa bentuk hak legal pemiliknya, baik dalam pandangan syariah maupun kebiasaan masyarakat. Hal ini berlaku, baik hak itu dianggap sebagai harta sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang menyatakan bahwa manfaat suatu barang merupakan harta kekayaan yang bernilai, ataupun kita menganggapnya sebagai manfaat yang akan dinilai sebagai harta kekayaan dengan adanya transaksi atas manfaat tersebut dalam rangka menjaga kepentingan umum, sebagaimana pendapat para ulama Hanafi mutaqaddimîn (terdahulu).

    Pengertian harta kekayaan menurut jumhur ulama adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai harta di mata masyarakat, karena ia dapat dimanfaatkan dan adanya kewajiban membayar ganti rugi atas orang yang merusaknya. Definisi ini disetujui pula oleh para ulama Hanafi belakangan.

    Menurut Ibnu Manzhur dalam Lisân al-'Arab, kata al-mâl (harta kekayaan) secara bahasa adalah segala sesuatu yang Anda miliki. Secara eksplisit, definisi ini mencakup barang, manfaat ataupun hak.

    Dalam Hâsyiyah 'alâ Radd al-Mukhtâr, Ibnu Abidin berkata, "Yang dimaksud dengan al-mâl (harta kekayaan) adalah segala sesuatu yang disenangi oleh orang dan dapat disimpan sampai ketika diperlukan. Unsur harta kekayaan pada suatu benda ini dapat ditetapkan dengan adanya kepemilikan seluruh atau sebagian orang terhadapnya sebagai suatu harta kekayaan. Dan unsur berharga pada suatu benda terwujud dengan adanya nilai harta kekayaan padanya yaitu dengan adanya kebolehan untuk memanfaatkannya secara syarak."

    Abdul Wahab al-Baghdadi, salah seorang tokoh ulama Malikiyah, berkata, "Al-Mâl adalah sesuatu yang dalam kebiasaan masyarakat berfungsi sebagai harta kekayaan dan dibolehkan mengambil ganti rugi darinya."

    Qadi Ibnu Arabi, salah seorang ulama Malikiyah, berpendapat, "Harta kekayaan adalah sesuatu yang disenangi oleh keserakahan manusia dan dapat dimanfaatkan, baik secara syarak maupun kebiasan."

    Imam 'Izz bin Abdus Salam dalam kitabnya Qawâ'id al-Ahkâm menyatakan bahwa manfaat merupakan tujuan utama dari semua jenis kekayaan.

    Dalam al-Muwâfaqât, Syatibi menegaskan, "Kekayaan adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan pemiliknya dapat bertindak keras terhadap orang lain yang mecoba merampasnya."

    Az-Zarkasyi, salah seorang ulama Mazhab Syafi'i, mendefinisikan kekayaan sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan, maksudnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan.

    Salah seorang ulama Syafi'iyah lainnya, al-Jalal al-Mahalli, dalam syarahnya terhadap kitab al-Minhâj karya Nawawi mengatakan, "Syarat kedua barang yang [boleh] dijual adalah mempunyai manfaat. Maka sesuatu yang tidak bermanfaat bukanlah harta kekayaan, sehingga tidak dapat ditukar."

    Sedangkan Suyuthi dalam al-Asybâh wan-Nazhâir berkata, "Penutup: Definisi harta kekayaan dan sesuatu yang bernilai sebagai harta kekayaan. Adapun definisi harta kekayaan, maka Imam Syafi'i mengatakan, "Istilah harta kekayaan tidak digunakan kecuali untuk sesuatu yang berharga sehingga dapat dijual dan adanya kewajiban ganti rugi bagi perusaknya meskipun sedikit, juga sesuatu yang tidak diabaikan oleh masyarakat, seperti fulus (uang tembaga pengganti uang dinar dan dirham) dan lain sebagainya."

    Syarafuddin al-Maqdisi, salah seorang ulama Hambali, berkata dalam al-Iqnâ', "Harta kekayaan adalah sesuatu yang mempunyai manfaat yang boleh diambil, bukan karena keperluan atau kondisi darurat."

    Dalam kitab Syarh Muntahâ al-Irâdât, Al-Buhuti, seorang ulama Hambali, berkata, "Kekayaan adalah sesuatu yang boleh dimanfaatkan sepenuhnya –maksudnya dalam semua kondisi— atau sesuatu yang boleh dimiliki tanpa suatu keperluan."

    Syaikh Ali al-Khafif dalam kitabnya al-Milkiyyah berkata, "Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa unsur harta tidak lain hanyalah sifat sesuatu berdasarkan pada kegiatan orang-orang yang memfungsikannya sebagai harta kekayaan dan sebagai alat untuk transaksi mereka. Hal ini hanya berlangsung dengan adanya kebutuhan orang-orang terhadap sesuatu tersebut, sehingga mereka pun menjadi suka dengannya dan ia bisa dikuasai, dimonopoli dan dilindungi dari orang lain. Kondisi ini tidak mengharuskan sesuatu itu berbentuk materi yang bisa disimpan sampai waktu diperlukan, namun cukup dengan adanya kemudahan untuk mendapatkannya ketika diperlukan, tanpa adanya kesulitan. Semua ini dapat terealisasi pada manfaat. Sehingga jika hal ini terwujud pada sesuatu, maka ia dihitung sebagai harta kekayaan berdasarkan kebiasaan dan transaksi orang-orang."

    Dengan demikian, karena hasil karya dan merek dagang merupakan sesuatu yang dipastikan mempunyai manfaat, di mana ia dapat dimiliki secara pribadi, mempunyai nilai, beredar dalam masyarakat, menjadi obyek transaksi antar masyarakat dan adanya hak untuk menuntut melalui jalur hukum yang berkaitan dengannya tanpa adanya dalil syar'i yang menentangnya, maka semua ini menjadikan hasil karya, merek dagang dan sejenisnya mempunyai status harta kekayaan pribadi bagi pemiliknya. Sehingga dia dapat menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa izin darinya.

    Syariat Islam memerintahkan agar bersikap amanah dalam menyandarkan suatu perkataan atau perbuatan kepada para pelakunya. Sehingga Islam mengharamkan seseorang mengklaim suatu perkataan, usaha dan karya orang lain sebagai miliknya atau sebagai milik orang lain yang bukan pemilik aslinya dengan maksud menghilangkan hak-hak pemiliknya. Islam menjadikan tindakan ini sebagai kebohongan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman. Di sisi lain, Islam juga menghormati hak penguasaan lebih dahulu terhadap sesuatu, dan menjadikan orang yang menguasainya lebih awal lebih berhak dari orang lain. Diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris r.a., ia berkata, "Saya mendatangi Rasulullah saw. dan berbaiat kepada beliau. Lalu beliau bersabda,

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ
 "Barang siapa menguasai sesuatu sebelum muslim yang lain, maka sesuatu tersebut menjadi miliknya." (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishâbah).

    Di samping itu, usaha dan harta yang dikeluarkan para pemilik merek dagang untuk mendapatkannya, menjadikan pemalsuan orang lain terhadapnya sebagai suatu kezaliman, karena dia telah memakan harta orang lain dan menyia-nyiakan usahanya dengan cara yang tidak benar dan merugikan. Allah SWT berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman janganah kamu aling memakan harta sesamamu dengan jaan yang batil, kecuali dengan suka sama suka di antara kamu." (An-Nisâ`: 29).

Allah juga berfirman,

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah: 188).

    Mengomentari ayat ini, al-Qurthubi dalam tafsirnya berkata, "Ayat ini ditujukan kepada seluruh umat Muhammad saw.. Dengan demikian, maksud ayat ini adalah janganlah seseorang di antara kalian memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Termasuk di dalamnya kegiatan perjudian, menipu, merampas, menolak kewajiban menunaikan hak orang, mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak direlakan oleh pemiliknya, atau dibolehkan oleh pemiliknya tapi diharamkan oleh syariat, seperti upah perbuatan mesum dan perdukunan, juga biaya pembelian atau penjualan minuman keras, babi dan lain sebagainya."

    Penggunaan merek dagang tertentu oleh orang lain tanpa seizin pemiliknya merupakan tindakan pengelabuan bahwa orang itu telah mendapatkan hak untuk menggunakannya. Hal itu juga merupakan klaim dusta bahwa dia telah memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Diriwayatkan dari Asma` binti Abu Bakar r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda,

المُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
 "Orang yang mengaku-ngaku memiliki sesuatu padahal ia tidak memilikinya bagaikan orang yang memakai dua pakaian dusta." (Muttafaq alaih).

    Tindakan itu juga merupakan penipuan terhadap masyarakat. Rasulullah saw. bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
 "Barang siapa yang menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami." (HR. Muslim).

    Dengan demikian, hak cipta, merek dagang dan sejenisnya merupakan kepunyaan para pemiliknya, sehingga berlaku padanya semua hak yang berkaitan dengan kepemilikan pribadi seseorang terhadap sesuatu. Seperti hak menggunakannya dengan cara apapun yang dibolehkan, hak meminta imbalan harta terhadapnya jika tidak ada unsur penipuan dan pemalsuan, hak melarang orang lain menggunakannya tanpa seizinnya, hak melarang orang lain melakukan tindakan yang dapat merusak barang itu atau merusak manfaatnya, juga hak melarang orang lain memalsukannya dan memilikinya dengan cara-cara tidak benar.

    Hal inilah yang menjadi keputusan berbagai lembaga-lembaga fikih Islam, seperti Lembaga Fikih Islam yang berada di bawah naungan Organisasi Konfensi Islam (OKI). Dalam keputusannya yang bernomor 43 (5/5) yang ditetapkan pada muktamar ke-5 di Kuwait tanggal 1-6 Jumadil Ula 1409, lembaga ini merumuskan hal-hal berikut:

1. Nama, alamat dan merek dagang, serta karya tulis, kreasi atau inovasi merupakan hak-hak khusus para pemiliknya. Dalam masyarakat modern, hak-hak seperti ini mempunyai nilai ekonomis yang diakui karena orang-orang manjadikannya sebagai harta kekayaan. Kepemilikian terhadap hak-hak tersebut dilindungi oleh syariat sehingga orang lain tidak boleh melanggarnya.

 2. Para pemilik nama, alamat dan merek dagang tersebut boleh memperjualbelikan atau memindahkan kepemilikannya kepada orang lain dengan imbalan materi, dengan syarat tidak terdapat unsur ketidakpastian, penipuan dan pemalsuan di dalamnya. Hal itu mengingat benda-benda tersebut telah menjadi hak kekayaan materi.

 3. Hak cipta karya tulis dan kreasi atau inovasi dilindungi oleh syariat. Para pemiliknya mempunyai kewenangan terhadapnya dan tidak boleh dilanggar. Wallah a'lam.

    Dengan demikian, pemalsuan terhadap hak kekayaan intelektual dan merek dagang dengan cara apapun yang membuat masyarakat mengira bahwa itu merupakan merek asli, merupakan tindakan yang diharamkan dalam syariat Islam. Tindakan tersebut termasuk perbuatan dusta, pemalsuan dan penipuan. Di samping itu, tindakan tersebut merugikan masyarakat dan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Sehingga, diharamkan juga bagi seseorang untuk membuka toko yang memperdagangkan barang-barang bermerek palsu yang dapat menyebabkan para konsumen tertipu. Para pegawai dan pekerja yang ikut andil dalam pemalsuan dan penipuan terhadap masyarakat juga telah melakukan perbuatan haram. Hal ini didasarkan pada firman Allah,

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Mâidah: 2).

    Masyarakat pun tidak boleh melakukan transaksi dengan para pemalsu merek tersebut dengan membeli produk-produk mereka. Karena setiap muslim diperintahkan untuk mengingkari semua kemungkaran dan berusaha merubahnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pembelian masyarakat terhadap produk mereka adalah tindakan yang bertentangan dengan perintah ini, karena hal itu berarti membantu mereka dalam kezaliman dan perbuatan yang tidak dibenarkan. Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa Nabi saw. besabda,

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا
 "Tolonglah saudaramu baik ia berbuat zalim ataupun dizalimi."
 Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, saya akan menolongnya jika ia terzalimi. Tapi, jika ia yang berbuat zalim, bagaimana saya menolongnya?"
 Beliau menjawab,

تَحْجُزُهُ مِنَ الظُّلْمِ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
 "Kamu menghalanginya dari perbuatan zalim itu, maka itulah cara menolongnya." (HR. Bukhari).

    Adapun sangsi yang diberlakukan atas mereka, maka pada dasarnya ia masuk dalam masalah ganti rugi nilai kerugian yang ditimbulkan karena tindakan pemalsuan tersebut. Penentuan nilai kerugian ini diserahkan kepada keputusan hakim berdasarkan hasil perhitungan para pakar. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan ta'zir (hukuman yang ditetapkan oleh hakim) yang dapat membuat jera para pemalsu tersebut agar tidak melakukan tindakan yang merugikan kepentingan pribadi dan kepentingan umum itu.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
sumber ; http://www.azhar.edu.eg/

1 comment: