Pages

لْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9)

Tuesday, May 22, 2012

Wanita yang Menikah Tanpa Wali

Saya menikah dengan seorang janda berkebangsaan Uni Emirat Arab yang telah berusia 37 tahun. Akad nikah ini telah dilaksanakan di hadapan seorang pengacara dengan dihadiri para saksi dan ketika itu mahar pun dibayarkan. Seluruh rukun pernikahan telah dipenuhi kecuali persetujuan wali wanita yang menolak pernikahan itu dengan alasan perbedaan kewarganegaraan. Setelah itu, saya mencatatkan pernikahan saya tersebut dan mendapat pengesahan dari pengadilan. Lalu saya melegalisir seluruh dokumen pernikahan di Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar Uni Emirat Arab. Lalu saya mengumumkan penikahan saya itu kepada semua orang termasuk keluarga istri. Namun, ayahnya memperkarakan masalah itu ke pengadilan di Uni Emirat Arab dengan alasan bahwa pernikahan itu tidak sah karena tidak ada persetujuan dari wali. Mohon penjelasan apakah pernikahan kami ini sah ataukah tidak?
Jawaban


    Perwalian dalam pernikahan seorang wanita merupakan bentuk dari perlindungan yang disyariatkan oleh agama demi menjaga hak-hak wanita ketika ia memasuki fase penting dalam hidupnya. Ketika mensyariatkan hukum perwalian ini, Islam sangat menjaga dan memperhatikan makna kasih sayang terhadap wanita dan berusaha memberikan pertolongan padanya.

    Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang perempuan yang telah balig dan dewasa tidak terikat dengan hak perwalian ini. Oleh karena itu, ia boleh menikahkan dirinya dengan cara melakukan akad nikah secara langsung, baik ia adalah wanita yang masih perawan maupun telah menjadi janda. Ulama Hanafiyah hanya membatasi perwalian terhadap anak perempuan yang belum balig. Mereka menjadikan kuasa wali terhadap anak perempuan yang telah dewasa berbentuk hak perwakilan (pemberian kuasa), bukan perwalian.

    Undang-undang Mesir mengambil pendapat mazhab Hanafi ini, sehingga membolehkan seorang perempuan yang telah balig untuk menikahkan dirinya sendiri. Pernikahan ini dianggap sah jika ia menikah dengan seorang yang sekufu dan dengan mahar yang umum di masyarakat.

    Syariat Islam menjadikan masa balig sebagai batas dan tanda permulaan kesempurnaan akal seseorang. Islam juga menjadikan usia tertentu sebagai batas masa balig tersebut jika tidak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan tercapainya usia tersebut. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas usia balig ini.

    Para ulama Syafi'iyah, Hanabilah dan kedua orang murid Abu Hanifah –Abu Yusuf dan Muhammad— berpendapat bahwa batas usia balig adalah 15 tahun berdasarkan penanggalan qamariyah baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan para ulama Malikiyah berpendapat bahwa usia balig adalah 18 tahun. Namun dalam mazhab Maliki juga terdapat pendapat-pendapat lain berkaitan dengan usia balig ini. Ada yang mengatakan 15 tahun, 19 tahun atau 17 tahun. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa usia balig bagi anak laki-laki adalah 18 tahun sedangkan bagi anak perempuan 17 tahun.

    Dalam Undang-undang Mesir, urusan Sipil diatur melalui UU nomor 56 tahun 1923 yang menjelaskan bahwa batas minimal usia pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki. Pengadilan akan menolak dakwaan yang berkaitan dengan perkara pernikahan jika umur suami-istri itu kurang dari usia yang ditetapkan kecuali terdapat eksepsi dari pemerintah. Lalu disahkan pula UU nomor 78 tahun 1931 untuk memperkuat UU sebelumnya. Kemudian dikeluarkan UU nomor 88 tahun 1951 guna merevisi pasal 99/5 dari UU itu dengan memutuskan bahwa yang menjadi standar usia adalah penggunaan kalender hijriah. Dan terakhir, dikeluarkan UU nomor 1 tahun 2000 yang menjelaskan bahwa penentuan umur adalah didasarkan pada kalender masehi.

    Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, akad nikah yang telah dilakukan antara kedua pasangan itu adalah sah secara syarak jika sang suami sekufu dengan perempuan yang ia nikahi serta memberikan mahar yang umum dalam masyarakat bagi perempuan sepertinya.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
sumber http://www.azhar.edu.eg/

No comments:

Post a Comment